HARI Minggu lalu sekitar pukul 09.00, saya duduk di bangku di halaman belakang rumah untuk mencari sinar matahari. Sudah sebulan ini, saya jalankan ritual berjemur diri atau dedhe atau sunbathing .
Itu gara-gara pageblug atau wabah penyakit atau pandemik yang sedang melanda dunia. Konon, berjemur bisa membentuk vitamin D dan membangun imunitas dalam tubuh.
Bagi kami, aktivitas berjemur bukan hal baru. Eyang putri selalu menyuruh dedhe, bila kami sedang berlibur di rumahnya, desa Bejalen Kulon, Ambarawa. “Ayo podho dedhe, ben sehat”. Itu nasehat yang diucapkannya setiap pagi.
Soal dedhe, bapak lain lagi. Beliau punya resep khusus. “Dedhe ojo luwih seko jam 10. Bar kui, srengngenge malah nyumelangi. Kakehan sinar ultraviolet, iso marake semaput”.
Berjemur matahari jangan lebih dari pukul 10. Sesudah itu, matahari malah membahayakan. Terlalu banyak sinar ultraviolet bisa menyebabkan pingsan.
Entah dari mana bapak mendapat ilmu tentang ultra violet. Beliau “hanya” guru Ilmu Alam (Fisika) di sebuah SMP Negeri di Semarang. Kalau yang berkenaan dengan Fisika, kami patuh bak kerbau dicocok hidung.
Waktu itu, “kefasihan”-nya dalam menerangkan fenomena alam bagaikan saat ini kami membaca Newton atau Einstein. Beliau tak pernah salah. “He can do no wrong”.
Satu lagi teori Fisika yang masih teringat sampai sekarang, yaitu tentang “resonansi”. Sebuah garpu tala yang bergetar mampu menggerakkan berapa pun garpu tala yang ada di dekatnya. Bahkan kemudian, masing-masing saling menguatkan. “Itulah, ucapkan dan lakukan kebajikan. Maka orang-orang di sekitarmu akan terimbas hal yang sama”.
Begitulah beliau bertamsil ala Newton.
Pada “zaman normal”, teori “pak guru Fisika” bertahan sampai puluhan tahun. Saya ikuti apa yang beliau ucapkan. “Pasrah bongkokan, taken for granted”. Sampai kemudian pageblug Corona melanda negeri ini.
Keadaan menjadi chaos. Dunia kacau balau. Begini salah, begitu salah. Yang sekarang resep, besok menjadi racun.
Informasi silang selisih.
Kaidah ilmu medis bisa berubah dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. “Esuk tempe, sore dele”.
Masyarakat yang tadinya “tenang-tenang meski bisa menghanyutkan”, tiba-tiba mampu menenggelamkan. Ketidakpastian menjadi satu-satunya yang pasti.
Demikian juga dengan teori waktu berjemur.
Ahli pertama setuju dengan ajaran pak guru. Belum tiga hari, ahli lain datang dengan teori berbeda.
“Paling bagus berjemur sesudah pukul 10.00.”
Ahli ketiga mengajukan kaidah soal sore hari yang penuh dengan pro-vitamin D. Itu belum usai. Masih banyak ahli dengan berbagai teori yang lain lagi. Saling mengkoreksi.
Begitulah, ketidak-pastian merajalela dan berubah menjadi “kepastian baru”. Uncertainty becomes a new definiteness (Aviv Murtadho, 2020).
Konon memang begitulah sifatnya pageblug. The storm demolishes the town.
Wajar, kalau tak ada yang siap dengan malapetaka ini. Tak heran kalau tatanan masyarakat jungkir balik tak karuan.
Saat awal pandemik melanda, Badan Kesehatan Dunia, WHO, mengeluarkan fatwa bahwa masker N95 hanya wajib dipakai bagi yang bergejala saja. Tak sampai sebulan, badan yang sama mengubah kebijakan dengan drastis. Semua orang, sehat atau sakit, wajib memakai masker.
Alasan disulap menjadi baru. Yang kedua seolah lebih sahih dari yang pertama. Aneh tapi nyata, tapi itulah yang terjadi. Badai datang dalam sekejab dan semua kaget, panik, dan tertekan.
Tak peduli sehebat apa pun seorang ahli, tiba-tiba menjadi gagap.
Ventilator pun menjadi dilematis. Semula ia menjadi alat kunci. Untuk menyelamatkan pasien yang kehabisan nafas. Setelah banyak institusi berlomba-lomba memproduksinya, tiba-tiba muncul ahli bersuara lain. Ventilator dianggap bisa memperparah penderita.
Menghilangkan dahak di sekitar paru, menjadi kata kunci baru. Sulit menentukan siapa yang benar.
Itulah ciri-ciri masyarakat panik. Apa pun bisa menjadi pegangan, apa pun bisa menjerumuskan. Siapa pun bisa benar, siapa pun bisa sesat. Sekali lagi, harap maklum, ini pageblug, ini bencana, ini catastrophic.
Meski teori tentang waktu berjemur matahari beraneka ragam, saya berusaha tak membuat diri bingung. Upayakan tak ikut-ikut senewen.
Tenanglah dalam berpikir. Gunakan akal sehat. Lengkapi diri dengan informasi yang selektif, agar tak dibikin rancu teori palsu yang sedang bejibun.
Di antara banyak berita yang berterbangan di langit, pasti ada benang merah yang dapat jadi pegangan.
Jangan banyak mengeluh, jangan asal menuduh, jangan mudah maidho, (asal mencela). Ingat “teori resonansi garpu tala”. Getaran negatif membuat benda-benda lain di sekitarnya bergetar negatif pula.
“Human history becomes more and more a race between education and catastrophe” by Herbert George Wells (1899-1946), penulis terkenal dari Inggris, mengenai masalah sosial, sejarah, biografi.
@pmsusbandono
20 April 2020
sekarang karena ada covid kita jadi rajin berjemur