Yoh 13:1-15
PADA hari Kamis Putih dibacakan kisah Yesus membasuh kaki para murid-Nya (Yoh 13:1-15). Tindakan ini dipahami Petrus sebagai sikap merendah dari gurunya di hadapan para murid. Namun, kiranya maksud Yesus jauh lebih dalam dari sekadar kerendahan hati.
Hanya Injil Yohanes saja
Bagaimana sebaiknya kita memahami kisah ini?
Menariknya, hanya Injil Yohanes yang mengisahkan peristiwa pembasuhan kaki para murid. Dalam kebiasaan masyarakat waktu itu, orang biasanya membasuh kaki sendiri sebelum masuk ke ruang perjamuan sebagai tanda kesiapan untuk berpesta dengan bersih.
Hanya tamu yang sangat dihormati atau orang yang dituakanlah yang kakinya akan dibasuh – dan itu pun dilakukan sebelum perjamuan dimulai, oleh pelayan rumah, bukan oleh tuan rumah.
Yesus sebagai “tuan” rumah perjamuan
Namun dalam Injil Yohanes, peran-peran ini dibalik. Yesus, yang bertindak sebagai tuan rumah, justru membasuh kaki para murid, para tamunya.
Apakah ini berarti Yesus sedang memainkan peran seorang hamba-hamba yang diutus dari atas, dari Allah sendiri?
Kemungkinan itu menarik. Bahkan bisa dikaitkan dengan spiritualitas seorang hamba seperti yang terungkap dalam syair-syair Ebed Yahweh (Yes 42:1-4; 49:1-6; 50:4-11; terutama 52:13–53:12).
Namun, kita tak perlu terburu-buru ke sana. Mari kita amati lebih lanjut peristiwa yang dikisahkan Yohanes ini.
Pembasuhan kaki ini dilakukan selama perjamuan; bukan sebelumnya, seperti lazimnya. Ini sudah menunjukkan ada sesuatu yang tidak biasa.
Yohanes tampaknya memang sengaja menampilkan hal-hal tak lazim agar pembaca mulai bertanya-tanya: Apa makna terdalam dari tindakan ini?
Simbolis untuk sesuatu yang penting
Pembasuhan kaki di sini tampaknya bukan sekadar simbol kesiapan memasuki perjamuan atau ungkapan kerendahan hati dan pengabdian. Ia menjadi tindakan simbolis untuk menyatakan sesuatu yang lebih penting.
Apa itu? Mari kita lihat cara khas Yohanes menceritakan peristiwa-peristiwa terakhir dalam hidup Yesus.
Dimulai dari Perjamuan Terakhir
Berbeda dengan Injil Markus, Matius, dan Lukas yang menempatkan kedatangan Yesus ke Yerusalem sebagai awal penderitaan, kematian, dan kebangkitan-Nya -termasuk perjamuan Paskah- Injil Yohanes memisahkan kedatangan Yesus ke Yerusalem dan penyucian Bait Allah dari peristiwa salib dan kebangkitan.
Bagi Yohanes, rangkaian peristiwa yang mengarah pada kebangkitan justru dimulai dari perjamuan malam terakhir. Dan berbeda pula dari ketiga Injil lainnya, perjamuan ini bukanlah Perjamuan Paskah, melainkan perjamuan malam yang diadakan sebelum Paskah.
Bagi Yohanes, Paskah yang sejati terjadi dalam wujud pengorbanan Yesus di salib.
Yohanes menekankan bahwa Yesus sungguh sadar bahwa Ia “datang dari Allah dan akan kembali kepada Allah” (ay. 3). Maka, siapa pun yang mengenal-Nya, akan mengenali Yang Ilahi secara dekat. Kesadaran ini diajarkan kepada para murid dalam perjamuan malam terakhir lewat tindakan pembasuhan kaki.
Lebih dari itu, Yesus ingin berbagi “asal dan tujuan” – yakni dari siapa dan kepada siapa hidup ini mengarah- dengan murid-murid terdekat-Nya.
Inilah makna dari mengasihi “sampai pada kesudahannya” (ay. 1), kasih yang tidak setengah-setengah, melainkan sepenuhnya, sampai saat misi-Nya terlaksana: membawa manusia kembali kepada Allah, sumber terang dan kehidupan.
Dengan berbagi asal dan tujuan ini, Yesus membagikan hidup-Nya seutuhnya kepada para pengikut-Nya.
Sekaligus ada ajakan untuk mengikuti Yesus tidak hanya sesaat, dari satu tempat ke tempat lain, tetapi sejak awal hingga akhir. Hanya dengan cara demikian manusia dapat menjadi manusia yang utuh dan sempurna.
Petrus terheran-heran dan menolak kakinya dibasuh oleh Yesus. Murid yang spontan ini hanya melihat tindakan gurunya sebagai sikap merendah. Ia belum mampu menangkap makna yang lebih dalam.
Petrus masih berpijak pada kerohaniannya sendiri. Padahal, Yesus sedang memperkenalkan sesuatu yang baru—yang bahkan belum dimengerti oleh para pengikut terdekat-Nya.
Maka Yesus berkata kepadanya, “Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengertinya kelak.” (ay. 7)
Namun Petrus tetap menolak. Maka Yesus menjelaskan, “Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku.” (ay. 8). Dia, yang menyadari bahwa asal dan tujuan-Nya adalah Allah sendiri (ay. 3), kini hendak membagikan kehidupan ilahi itu kepada para murid-Nya.
Sangkan paran kehidupan
Dengan memakai istilah dari spiritualitas Nusantara, tindakan Yesus ini bisa dipahami sebagai berbagi “sangkan paran” kehidupan – asal-usul dan tujuan akhir hidup manusia.
Itulah jalan keselamatan yang ditawarkan Yesus: mengantar manusia kembali kepada sumber terang dan kehidupan.
Lebih lanjut, Yesus menegaskan bahwa pembasuhan kaki ini diberikan sebagai teladan bagi para murid, agar mereka pun melakukan hal yang sama satu sama lain (ay. 15). Tujuannya bukan semata-mata saling melayani secara lahiriah, melainkan saling berbagi pemahaman yang mendalam akan “dari mana dan ke mana” arah hidup ini.
Pemahaman ini mulai tumbuh dari perjumpaan dengan Sang Guru kehidupan.
Inilah bekal hidup bagi mereka yang percaya bahwa Yesus datang dari Allah dan kembali kepada-Nya, setelah terlebih dahulu menunjukkan siapa Allah itu sebenarnya. Dengan begitu, terasa ada sesuatu yang lebih dalam dalam semangat saling melayani: saling menuntun menuju Allah, sumber hidup sejati.
Salam,
A. Gianto