Home BERITA Bagaimana AI “Berpikir”: Mengenal Cara Kerja Kecerdasan Buatan (3)

Bagaimana AI “Berpikir”: Mengenal Cara Kerja Kecerdasan Buatan (3)

0
2 views
Ilustrasi tentang cara kerja AI. (Ist)

INI ada tiga pertanyaan filosofis yang perlu kita renungkan.

Memahami cara kerja AI modern membuka pintu bagi pertanyaan-pertanyaan filosofis yang menarik. “Mengetahui bagaimana cara kerja kecerdasan buatan, kita dapat secara bijaksana mengevaluasi penggunaannya dalam konteks tertentu.” (Antiqua et Nova, §110):

1. Apakah menebak kata sama dengan memahami?

Ketika AI menghasilkan paragraf mendalam tentang kerinduan atau persahabatan, ia tidak pernah benar-benar mengalami emosi-emosi ini. AI hanya mengidentifikasi pola statistik: kata-kata apa yang biasanya muncul bersama dalam teks tentang topik tersebut.

“Ketika AI menghasilkan teks yang tampaknya mendalam, ia hanya melakukan inferensi statistik berdasarkan dataset. AI hanya mengidentifikasi pola statistik: kata-kata apa yang biasanya muncul bersama dalam konteks tertentu” (Antiqua et Nova, §32-33).

Gambar: Apakah ada bias pada data training untuk AI? (YouTube AI: Training Data & Bias)

Ini mengingatkan pada argumen “Kamar Cina” dari filsuf John Searle.

Bayangkan seseorang di dalam ruangan yang menerima simbol-simbol bahasa Mandarin dan memiliki buku aturan untuk meresponsnya. Orang tersebut bisa memberikan respons yang tampak fasih dalam bahasa Mandarin tanpa benar-benar memahaminya.

Dalam tradisi Filsafat Nusantara, kita bisa mengaitkan ini dengan konsep “rasa” dalam pemikiran Jawa. Pemahaman sejati bukan hanya tentang mengetahui (ngelmu), tetapi juga merasakan (ngrasakke). AI mungkin memiliki “ngelmu” tetapi tidak “ngrasakke“.

2. Dari mana “suara” AI berasal?

Ketika AI menulis seperti penyair atau filsuf, suara siapa yang sebenarnya kita dengar? AI belajar dari tulisan jutaan manusia. Teksnya adalah semacam kolase statistik dari semua suara yang telah membentuknya selama proses pelatihan.

Saat AI menulis “seperti Chairil Anwar” atau “seperti Gus Dur”, “ia” sebenarnya melakukan semacam peniruan menggunakan statistik yang canggih, tanpa pemahaman tentang konteks budaya, politik, dan personal yang membentuk suara-suara asli tersebut.

Filsuf Walter Benjamin membahas konsep “aura” dalam karya seni – kualitas unik yang muncul dari konteks penciptaan dan sejarahnya.

  • Apakah teks AI memiliki “aura” semacam itu?
  • Atau apakah ia hanya menjadi simulasi tanpa asli seperti yang dibahas oleh Jean Baudrillard?

3. Apa arti “kecerdasan” di era AI?

Jika mesin dapat menghasilkan puisi yang menyentuh, esai filosofis yang dalam, atau solusi matematika yang elegan, bagaimana kita mendefinisikan kecerdasan manusia?

Tradisi filosofis dari berbagai budaya menawarkan perspektif beragam:

  • Filsafat Yunani Kuno: Kecerdasan (sophia) mencakup kebijaksanaan praktis (phronesis) yang muncul dari pengalaman hidup.
  • Tradisi Buddhis: Kecerdasan melibatkan kesadaran (sati) dan wawasan mendalam (vipassana) yang muncul dari meditasi dan refleksi.
  • Filsafat Jawa: Konsep “ngelmu pring” – pengetahuan yang fleksibel seperti bambu, yang tumbuh dari akar pengalaman dan dapat beradaptasi dengan konteks.

Semua tradisi ini menegaskan bahwa kecerdasan manusia melampaui kecerdasan buatan. Kecerdasan manusia bukan hanya tentang memproses informasi, tetapi juga kesadaran diri, pengalaman subjektif, dan pencarian makna.

“Banyak pengalaman yang kita miliki sebagai manusia membuka cakrawala baru dan menawarkan kemungkinan untuk mencapai kebijaksanaan baru. Tidak ada perangkat yang hanya bekerja dengan data yang dapat menyamai pengalaman ini” (Antiqua et Nova, §33). (Berlanjut)

Baca juga: Bagaimana AI “Berpikir”: Mengenal Cara Kerja Kecerdasan Buatan (2)

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here