MINGGU ADVEN 1, B; 27 November 2011
Yes. 63:16b-17.64:1,3b-8; 1Kor. 1:3-9; Mrk. 13:33-37
Kita memasuki masa persiapan Natal. Kita sudah mulai sibuk latihan koor, tablo, jajan dan pakaian baru. Tapi apakah kita siap memasuki lambang Adven dan Natal, yaitu kedatangan Tuhan? Kedatangan Tuhan dapat berarti Akhir zaman atau kematian kita atau juga saat Tuhan datang dalam hidup kita. Akhir zaman masih lama dan tidak pasti kapan. Kematian kita, belum jelas, harapannya jangan cepat-cepat. Kedatangan Tuhan dalam hidup kita, sering tidak jelas apa dan bagaimana bentuknya. Jadi bagaimana mempersiapkan diri untuk itu?
Para hamba harus berjaga-jaga untuk menyambut kepulangan tuannya. Mereka punya tugas rutin di rumah yang tetap harus dilakukan, entah ada tuannya atau tidak dan bersiap-siap untuk menyambut tuannya pulang. Kalau tuan pergi jauh, apalagi waktu itu, perjalanan hanya dapat lewat darat atau laut yang makan waktu lama, urusan rumah tangga biasanya tidak banyak. Tidak heran kalau orang jadi santai, menunda atau mengurangi pekerjaan.
Tetapi situasi kita, tidak sama dengan situasi para hamba dalam perumpamaan itu. Mereka tidak tahu kapan dan apa yang akan terjadi saat tuannya pulang. Tetapi kita, meski kita tidak tahu kapan saat kita bertemu dengan Tuhan (baik dalam suatu pengalaman hidup atau pada akhir hidup kita), tetapi kita tahu apa yang akan terjadi pada kita. Lukas 12: 35-38 yang mengembangkan cerita pada Mrk. 13:35, menceritakan apa yang akan terjadi saat tuannya pulang pada malam hari secara mendadak itu: Sesungguhnya ia akan mengikat pinggangnya dan mempersilakan mereka duduk makan, dan ia akan datang melayani mereka.
Tuannya tidak hanya akan membagi oleh-oleh dari perjalanan, tapi lebih dari itu. Dia yang lelah, pulang dari perjalanan, akan melayani para hamba itu duduk makan. Situasi menjadi terbalik. Hamba yang kini dilayani. Artinya, mereka tidak lagi menjadi hamba, tetapi menjadi anggauta keluarga terhormat! Mereka layak dilayani oleh tuannya sendiri. Mereka tidak tahu, tetapi kita sudah tahu karena kita sudah mendengar ceritanya sampai akhir.
Jadi berjaga-jaga bagi kita, bukan suatu penantian yang rutin, tidak pasti dan membosankan, tetapi merupakan sebuah penantian yang penuh harapan. Seperti seorang anak yang menunggu papa atau mamanya pulang dan dengan harap-harap cemas menantikan apa yang akan dibawakan sebagai oleh-oleh; disamping kegembiraan karena akan bertemu kembali dengan yang dirindukan. Bagaimana caranya dapat terus hidup dengan harapan, pada saat-saat kerutinan yang menjemukan menguasai kita dan berbagai beban hidup menghantam kita? Apakah pertemuan dengan Tuhan menjadi saat yang membahagiakan kita?
Kisah seorang kakek
Ada seorang kakek yang menyenangkan; rambutnya yang sudah putih semua dipotong dan disisirnya rapih. Matanya yang sudah mulai kabur, tetap menyinarkan kehangatan hatinya. Kerut di wajahnya, melunak setiap kali ia tersenyum. Kakek itu pintar bersiul dan ia melakukannya dengan gembira tiap kali ia membersihkan toko kecilnya. Tetapi ia menyimpan kesedihan dalam hatinya; orang-orang yang mengenalnya, menghormati dan mencintai dia. Tokonya tidak menjual banyak hal, tetapi bagi kakek itu, toko itu bukan untuk mencari makan, tetapi untuk menikmati masa lalunya.
Di belakang tokonya, ada ruangan kecil yang disebutnya ruang kenangan, tempat ia menyimpan benda-benda berharganya. Ada arloji saku, jam, kereta api listrik, mesin uap mini, mainan antik dari kayu atau logam dan berbagai barang antik lainnya. Menghabiskan waktu di ruang kenangan itu memberinya kegembiraan, disana ia mengingat berbagai saat penting pada masa lalunya. Ia merawat setiap barang dengan hati-hati. Kadang-kadang ia memejamkan mata untuk menikmati kembali masa kanak-kanak yang manis.
Suatu hari, si kakek sedang memperbaiki lampu kereta api kuno sambil menyiulkan lagi lama tentang kereta api dan mengingat saat dulu ia bertugas sebagai penjaga persilangan rel kereta. Hari itu seperti hari-hari biasa pada umumnya. Matahari bersinar cerah di luar dan angin sepoi bertiup lewat pintu tokonya. Pada saat udara cerah, kakek membuka pintu tokonya dan ia menikmati udara segar. Saat ia meminyaki lampu kereta itu, lonceng pintu tokonya berbunyi. Lonceng itu mengeluarkan suara nyaring yang menyenangkan dan lonceng itu sudah menjadi warisan keluarga lebih dari 100 tahun. Kakek sangat menyukai lonceng itu dan dengan bangga memamerkan suaranya yang indah pada pelanggan yang datang ke tokonya. Mendengar suara lonceng itu kakek keluar dari ruang kenangan untuk melayani pelanggannya. Ternyata yang datang seorang anak perempuan kecil; hanya rambutnya yang ikal kelihatan dari meja kasir.
Dengan ramah kakek menyapa: “Nona kecil, apa yang bisa saya bantu?” Anak itu manis, polos dan malu-malu. Ia menatap kakek dengan matanya yang bulat, lalu memandang sekeliling untuk mencari sesuatu.
“Saya mau beli hadiah, kek,” katanya malu-malu.
“Hadiah untuk siapa?”
“Untuk opa saya. Tapi saya tidak tahu harus beli apa.”
Kakek mulai memberi usul: “Mau jam saku? Ini masih bagus, sudah kakek perbaiki sendiri.”
Anak itu tidak menjawab. Ia berjalan ke pintu, mendorong perlahan pintu itu untuk membunyikan loncengnya. Wajah kakek bersinar bangga ketika ia melihat anak itu tersenyum gembira.
“Lonceng ini pas. Mama bilang, opa suka musik.”
Wajah kakek itu berubah. Ia takut melukai hati anak itu. “Maaf, cantik. Lonceng ini tidak dijual. Bagaimana dengan radio kecil ini?”
Anak itu melihat ke radio itu, menunduk dan berbisik: “Saya rasa tidak cocok.”
Sang Kakek menjelaskan sejarah lonceng itu yang sudah lebih dari 100 tahun menjadi warisan keluarga. Karena itu lonceng itu tidak dijual. Anak itu memandang kakek dengan sebutir besar air mata di matanya.
“Saya mengerti, kek. Terimakasih, ya.” Tiba-tiba kakek itu menyadari bahwa semua keluarganya sudah meninggal, kecuali anak perempuannya yang tidak pernah bertemu selama 10 tahun.
“Mengapa tidak mewariskan lonceng ini kepada anak yang akan berbagi kegembiraan dengan kakek tercintanya? Kalau tidak, saya juga tidak tahu bagaimana nasib lonceng ini kalau saya sudah tidak ada.” Pikir si kakek.
“Tunggu, gadis kecil.” Kakek melihat ke anak perempuan itu yng sudah membuka pintu. Kakek itu mendengar bunyi lonceng itu untuk terakhir kalinya.
“Kakek putuskan untuk menjual lonceng ini. Ini saputangan, bersihkan ingusmu.”
Gadis kecil itu bertepuk tangan. “Terimakasih banyak, kek. Opa pasti senang sekali.”
Kakek merasa baik bahwa dia membantu gadis kecil itu. Tapi dia pasti akan merasa kehilangan loncengnya.
“Kamu harus janji akan jaga baik-baik lonceng itu untuk opamu dan untuk saya juga. OK?” Lonceng itu dibungkusnya dan dimasukkan dalam kantong.
“Oh, pasti!” Jawab gadis kecil itu. Tapi kemudian ia terdiam. Ada yang lupa ditanyakannya.
Ia melihat kepada kakek itu dengan wajah cemas dan lalu berbisik: “Berapa harganya, kek?” “Ooh, ya. Kamu punya uang berapa?” Anak itu mengeluarkan dompet kecil tempat uang receh dan menuang uang logam $ 2.45 sen. Kakek itu terdiam sejenak.
“Nona kecil, ini hari keberuntunganmu. Lonceng itu harganya persis $ 2.45.”
Sore itu, waktu hendak tutup toko, kakek masih melamunkan loncengnya. Ia memutuskan tidak akan memasang lonceng lain. Ia membayangkan anak gadis itu dan bertanya dalam hati, apakah opanya menyukai hadiahnya. Ah, pasti opa itu menyukai apa saja hadiah dari cucunya yang manis itu. Waktu kakek hendak mematikan lampu di ruang kenangan, ia mengira ia mendengar suara lonceng. Ah, pasti karena saya merasa kehilangan. Tetapi ketika ia menoleh ke pintu, gadis kecil itu berdiri disana sambil membunyikan lonceng itu sambil tersenyum manis.
Kakek mendekati anak gadis itu. “Ada apa gadis kecil? Kamu berubah pikiran? “Tidak! Mama bilang lonceng ini untuk kakek.” Jawabnya sambil tersenyum lebar.
Sebelum kakek dapat menjawab, ibu anak itu muncul di pintu, menahan air mata dan menyapanya: “Slamat malam papa.” Gadis kecil itu menarik lengan baju opanya. “Opa, jangan nangis. Ini sapu tangan dan bersihkan ingusnya opa.”
Si kakek menjalani hidupnya dengan gembira, meski ia merasa kehilangan anaknya. Ia mengisi hidupnya dengan berbagi kegembiraan dan berbuat baik kepada yang membutuhkan, seperti kepada gadis kecil itu. Begitulah sikap berjaga-jaga yang dimaksudkan Yesus. Berjaga-jaga bukanlah suatu sikap takut dan cemas. Berjaga-jaga adalah sikap hidup positip; tahu bahwa Tuhan pasti akan datang dan membawa kebaikan untuk kita. Mari kita menjalani segala kegiatan dan kesibukan kita dengan penuh semangat.
Kita dipercaya Tuhan untuk membantuNya mempersiapkan kedatanganNya. Bagi kita sendiri dan bagi setiap orang yang akan mengalami perkataan dan perbuatan kita. Kita dapat memilih menyeret beban hidup sebagai beban atau bersikap positip dalam hidup ini. Tuhan akan datang dan kita siap menyambutNya. Amin.