Bahagia Itu Sederhana, Sering-seringlah Berbagi

0
533 views
Ilustasi - The Telegraph

BAPERAN – BAcaan PERmenungan harianAN.

Jumat, 20 Agustus 2021.

Tema: Kasih kemanusiaan.

  • Bacaan Rut. 1: 1, 3-6,14b-16, 22.
  • Mat. 22: 34-40.

“M0, ini ada sedikit sumbangan. Mohon diterima ya. Jangan lihat isinya, Mo. Ini sebagai tanda syukur keluarga kami atas kebaikan Tuhan. Saya punya kakak yang punya jiwa sosial. Nanti saya kenalkan,” tuturnya sekali waktu.

Suatu saat saya diajak ke rumah kakaknya.

“Salam kenal ya Mo,” sapanya ramah.

“Adik saya pernah bicara tentang Romo. Ternyata, satu alma mater lo. Mari makan bersama. Kebetulan malam ini, kami makan bersama dengan saudara-saudari. Kami selalu ingat pesan almarhum papa-mama. Saling rukun dan membantu. Makan bersama adalah cara kami teringat dan mengikat satu sama lain,” tuturnya lagi.

“Oh, bagus sekali. Menyenangkan. Perjamuan keluarga,” jawabku ramah.

Beberapa waktu kemudian. saya berjumpa dengan keluarga ini. Saya mulai membatin pastinya ada sesuatu yang istimewa di keluarga ini.

Saya mendengar keluarga ini telah membiayai berdirinya sebuah ruang di panti jompo.

Sungguh benar, saya tidak pernah mendengar nama beliau sebagai donatur paroki. Tapi secara diam-diam, ternyata juga sudah membantu.

Saya mendengar sudah selama bertahun-tahun, ibu warga umat parokiku ini tetap masih setia memberi “sesuatu” kepada panti-panti lain beda keyakinan.

Keberlanjutan menyalurkan kasih, itu yang membuat mereka merasa menjadi keluarga terberkati.

“Memberi itu indah dan melegakan, Mo,”  demikian kata keyakinan mereka.

Keindahannya itu terletak pada senyum dan kegembiraan anak-anak. 

Dan memanglah. Ibu warga umat parokiku ini sampai mengenal anak-anak panti. Sejak mereka masih  kecil sampai tumbuh jadi dewasa.

Ia selalu disambut dengan kata “Ibu”. Sebuah sebutan yang menggetarkan hati. Ia hanya tersenyum. Lalu, mulai menyapa mereka seperti anaknya sendiri.

“Romo, semua ini berkat Tuhan. Saya sungguh mengalami kebaikan Tuhan. Bukan kami. Kami berbagi dan karenanya kami malah tak pernah berkekurangan,” ungkapnya memberi alasan.

“Saya selalu ingat almarhum papa-mama. Saya selalu ingat pengoubanan dan kebaikan Mama. Saya dekat dan sayang Mama. Saya selalu membantu Mama di dapur sepulang dari sekolah. Saya betul-betul kagum pada Mama,” jelasnya.

“Saya sengaja tidak mau melanjutkan pendidikan. Saya ingin bekerja. Saya ingin meringankan ekonomi keluarga. Saya ingin memberi kehidupan yang baik untuk adik-adik. Maka saya bekerja, membanting tulang. Semua penghasilan, kami nikmati bersama. Kalau pulang dari kerja, saya selalu membeli jajan untuk adik-adik. Mereka sangat gembira. Dan itu membuat saya semakin berarti,” kisah hidupnya terbeberkan di depanku.

“Ketika saya berkeluarga pun saya berinisiatif untuk pindah keluar kota. Kami ingin membentuk keluarga baru, Hanya kami berdua.

Suami tidak mengizinkan saya bekerja. Saya diminta mengurus rumahtangga dan merawat anak-anak. Suami bertanggungjawab. Ia bekerja keras. Saya mendidik anak-anak sendiri.  Tidak hanya soal makan, pendidikan tetapi soal takut akan Tuhan. Syukur, anak-anak saya baik,” katanya menjelaskan.

“Sesaat saya bahagia. Di tengah-tengah keluarga, anak-anak yang mengagumkan, suami dipanggil Tuhan. Bahkan yang menyedihkan, sebagian usaha suami diambil alih keluarganya.

Saya tidak protes. Saya tidak kecewa. Karena saya percaya, Tuhan akan memberi rezeki. Sungguh., saya harus putar haluan; mengubah hidup; serajin mungkin bekerja menghidupi anak-anak. 

Apa pun saya lakukan. Saya  meneruskan pekerjaan suami. Saya dipaksa menjadi Ibu yang tangguh. Tidak hanya pintar mengurus rumahtangga, tetapi juga berhadapan dengan orang-orang lain tidak mudah.

Tetapi Tuhan sungguh baik. Kami diberkati, bahkan lebih dari cukup,” kisahnya.

“Setelah anak-anak berkeluarga. Saya pun memberi modal hidup bagi mereka. Adil, tidak meng-anak-maskan.

Saya merasa tugas sebagai orangtua sudah cukup. Kini, saatnya saya menikmati hidup bersama saudara-saudariku. Saya tidak tahu, berapa lama lagi saya akan hidup. Saya mau hepi dan berbagi,” kilahnya di balik kegiatan suka berbagi kasih/

“Lalu, Ibu tinggal dengan siapa?” tanyaku.

Bersama satu adik dan dua ipar. Bahkan ada satu ipar yang telah berumah tangga lagi dengan orang lain. Semuanya saya rangkul,” jawabnya.

Bdk Rut 1: 16-18.

“Kenapa?”

“Kami tahu bagaimana hidup miskin, susah. Karena saya diberkati dan mereka juga adik adik saya. Mereka membantu pekerjaan saya. Saya mencukupi kebutuhan mereka bahkan pendidikan anak-anak mereka,” katanya memberi alasan.

Dengan payung kasih, Yesus berkata, “Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan Kitab Para Nabi.” ay 40.

Tuhan, mampukan kami berbagi kasih dan kehidupan. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here