Ini adalah cerita nyata. Sebuah kisah menyedihkan yang dialami kakak kandungku sendiri. Dia kehilangan tabungan sebesar 45 juta rupiah dan sekotak perhiasan.
Sekarang ini, kelompok penipu dengan metode “hipnotis” sudah merambah ke wilayah-wilayah “sakral” yakni gereja dan mereka dengan lihai menyaru diri sebagai “kelompok pendoa”.
Usai mengikuti ekaristi di sebuah gereja di Jakarta Pusat, kakak perempuan saya terbuai akan “hiburan rohani” ketika seorang bapak paruh baya dengan dandanan rapi menyatakan akan mendoakan yang bersangkutan. Bahkan, rombongan pendoa pun didatangkan, ketika kakak saya dipertemukan dengan dua-tiga bapak lainnya.
Yang mengejutkan, bapak pertama itu malah berani mengaku “romo”. Sudah perlente, tampan, dan meyakinkan lagi, jadilah kakak perempuan saya pun dibuat “terlena” oleh penampilan fisik, cara bercakap santun, janji “rohani” untuk didoakan, dan kemampuan “pastor aspal” berikut dua asistennya yang bisa “membaca isi hati” calon korbannya.
Ketika kakak saya mengisahkan cerita itu, dia sendiri mengaku heran kenapa para “bapak yang mulia” itu bisa mengetahui isi hatinya, kegelisahan perasaan, dan hal-hal yang sifatnya personal.
Maka tak heran, ketika dia minta nomor HP pun, dengan penuh keyakinan nomor itu dia berikan. Katanya, “ini untuk memudahkan kontak batin agar proses mendoakan Ibu semakin intensif,” kata kakak saya mengulangi percakapannya dengan para pencoleng “berbaju” rohani ini.
Singkat kata, kakak saya berhasil diperdaya. Sebelumnya sempat ditegur teman kantor kenapa buru-buru mencairkan depositonya, namun apa lacur kekuatan “pesona” dan mungkin juga hipnotis sudah meracuni kakak saya hingga akhirnya kakak saya dibawa ke sebuah resto di bilangan Jl. Thamrin, Jakarta Pusat dengan seperangkat “sajian persembahan” berupa 1 bungkus uang tunai 45 jt (hasil pencarian deposito) dan 1 kotak perhiasan.
Intinya, kakak saya didoakan dan bungkusan berisi uang dan kotak perhiasan itu akan didoakan dan dipersembahkan sebagai “berkat” untuk banyak orang. Sebagai silih penghiburan, kakak saya diberi 200 US dollar.
Entah tergiur atau belum pernah lihat dolar, serta merta uang tersebut dikantonginya. “Waah, betul-betul murah hati mereka itu,” ungkap kakak saya memuji kedermawaan para pencoleng itu sebelum akhirnya menyadari tipu daya dahsyat dan “permainan” yang mereka jalankan.
Selain lembaran gambar George Washington di tangan, kakak saya juga disangoni sekotak sebagai “persembahan”. “Baru boleh dibuka setelah tiga pekan sejak pertemuan ini ya,” begitu pesan para pencoleng berbaju rohani sebagaimana ditirukan kakak saya.
Tapi, bungkusan uang dan kotak perhiasan juga beralih ke tangan mereka. Dan anehnya, kakak saya dengan ikhlas merelakan itu semua.
Histeris
Tiga pekan berlalu tanpa kehebohan. Kakak saya sempat mudik ke Jawa Tengah dan tidak ada perasaan “aneh” menyapanya sepanjang dua pekan pertama.
Barulah menginjak pekan ketiga usai pertemuan “ganjil” berkedok doa bersama di sebuah resto itu, perasaan kakak saya mulai gundah. Dia mulai sadar, depositonya sudah cair, kotak perhiasan warisan almarhum kedua orangtua kami juga sudah berpindah tangan.
Melacak mereka? Nomor-nomor HP yang dulunya mereka gunakan untuk komunikasi sudah tidak aktif lagi. Dan perasaan gundah gulana pun mulai membuncah secara masif.
Kakak saya mulai sedikit histeris. Maklum, uang sebanyak 45 juta adalah angka lumayan besar untuk seorang pegawai negeri, sekalipun tidak ada tanggungan karena masih lajang. Kotak perhiasan yang merupakan tali emosional dengan kedua orangtua kami juga sudah tak berbekas di tangan.
Singkat kata, kehebohan batin mulai mendera hati kakak saya hingga akhirnya dia menyuruh temannya untuk membuka “kotak persembahan” pemberian ketiga pendoa gadungan tersebut. Sudah bisa ditebak apa isinya, batu!
Maka lemaslah kakak saya menangisi kebodohan dan kenaifannya “merespons” pesona fisik dari para pria tampan, perlente dan berlaku santun. Mengaku romo lagi!
Seminggu setelah kejadian nahas itu, barulah kakak saya berani bercerita kepada kami. Mau melacak kemana perginya para bandit berkedok pendoa itu, agak susah juga.
Kalau boleh disebut “nasihat” dari seorang adik kepada kakaknya, maka saya berani berujar “Tak ada yang lebih membahagiakan kita sebagai manusia, selain kita bisa berbagi kasih dengan sesama. Kita bisa hepi, melihat orang lain tersenyum karena uluran kasih kita.”
Kakak saya mungkin bereaksi tidak senang dikotbahi sama adiknya. Namun, saya percaya Roh Tuhan juga bekerja diam-diam menggerakan hati, kehendak, dan tekad kakak saya, seorang yang rajin berdoa dan berziarah kemana-mana, namun sering lupa bahwa “iman tanpa perbuatan itu mati”.
Dia banyak berdoa, berziarah, namun lupa bahwa doa itu menjadi berkat kalau diwujudkan dalam perbuatan-perbuatan baik kepada orang lain.
Semoga pengalaman ini menjadi guru “rahmat” bagi dia dan semua orang yang membaca catatan pribadi ini.
The day you are no longer burnt with love, many others will die of the cold.
Itu cuplikan sebuah poster rohani di sebuah susteran yang terbaca setiap kali saya mengunjungi suster untuk memperlancar komunikasi Perancis saya dengan Suster tersebut.
In finem omnia. Gloria Dei vivens homo.
Mathias Hariyadi (http://mytitch.blogspot.com)