Balada Bajing di Pohon Kecapi

0
19 views
Ilustrasi: Piong, makanan khas Toraja yang dimasak dengan cara dibakar. (Mathias Hariyadi)

SUATU pagi pekan lalu, halaman belakang rumah kami kembali riuh rendah. Itu suara bajing-bajing yang bertengger di dahan pohon kecapi. Mereka berpesta pora menyantap buah yang konon berasal dari Semenanjung Malaya.

Anehnya, suara meriah hanya terdengar, ketika para bajing berpesta kecapi. Saat kecapi sedang sepi, bajing nangkring di pohon kweni, mangga, jambu, belimbing atau pisang, semuanya sunyi senyap.

Sulit menebak, mengapa bajing bersorak-sorai sambil menyantap kecapi dan mingkem saat mengunyah buah-buah lainnya.

Kesimpulan asal-asalan saya coba tarik. Tentunya tanpa data.

Nampaknya, kecapi adalah buah favorit bagi bajing. Buahnya berwarna hijau dan berubah kekuning-kuningan bila sudah matang. Kecut saat masih mentah, namun berubah nano-nano saat sudah masak; manis, asam bercampur sepet (kelat atau kesat).

Tak juga diketahui mengapa bajing menyukai buah itu. Bukankah rasa suka akan makanan tak bisa diperdebatkan?.

Manusia pun mempunyai makanan dan rasa favorit. Orang Minang suka pedas, orang Jawa suka yang manis. Orang Jepang gemar ikan mentah, orang Barat suka daging sapi yang dimasak well done.

Saya suka telor mata sapi. Gaizka, cucu saya berusia enam tahun, lahap dan cepat menghabiskan nasi, bila lauknya lele goreng.

Adakah kesukaan orang akan makanan bisa diatur? Rasanya tidak.

Di Bangkok, berbagai jenis serangga goreng dijajakan di pinggir jalan; sekitar daerah Patpong. Saya tak tertarik mencobanya dan melihat dengan sebelah mata, sementara orang lokal “menyerbunya” habis-habisan.

Mok Huak adalah kecebong muda digoreng dan ditumis dengan bumbu hingga aromanya merangsang selera. Kalajengking goreng menjadi primadona. Sementara Hon Mhai, goreng lebah, ulat atau belalang yang bertekstur “kemripik” menjadi semacam krupuk di sini.

Masakan serangga tak jamak disajikan di Indonesia. Hanya di beberapa daerah tertentu dijumpai masakan serangga yang katanya sangat nglawuhi.

Di Mojokerto, belalang goreng sambal yang dicampur daun kemangi laris-manis diborong pembeli.

Kalau bajing doyan kecapi dan kurang suka lainnya, jangan paksa dia berceloteh saat melahap kweni atau jambu. Gaizka tak akan menyantap makan siang dengan lauk “jangkrik kukus”, karena jijik atau takut. Dia pasti memalingkan muka sambil mencibirkan mulutnya, bisa jadi malah terus menangis. Sekali lagi, Gaizka gemar melahap lele goreng dan sayur buncis.

Anak-anak yang berani menolak makanan yang kurang pas dengan seleranya, tak pantas disebut “pea” (bloon, sok tahu). Mereka hanya mengungkapkan apa yang dirasakannya. (“Pea”, bahasa gaul yang konon berasal dari singkatan “pendek akal”, yang artinya kurang luas pikiran dan pengetahuan)

Makanan bisa berubah menjadi sesuatu yang sensitif. Orang tiba-tiba “baper” gara-gara makanan yang semula masalah privat, diangkat menjadi isu publik. Makanan adalah budaya bagi suatu kelompok masyarakat, bahkan bisa naik pangkat menjadi identitas. Berhati-hati terhadap hal-ikhwal makanan, meski itu untuk konsumsi keluarga sendiri, adalah sikap yang bijaksana.

“Food is not rational. Food is culture, habit, craving, and identity” – (Jonathan Safranb Foer, penulis novel terkenal Amerika)

@pmsusbandono
28 Januari 2025

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here