Balada Ikan Cupang

0
868 views
Ilustrasi: Ikan cupang. (Ist)

PERAYAAN Tahun Baru 2018. Kami mendapat hadiah seekor ikan cupang di sebuah kotak kaca berukuran 15x10x10 sentimeter. Menarik, si cupang berenang kesana-kemari, terlihat manis dan menggoda.

Kami memberi nama “Rangi”. Dosis makan dipatok 3 kali per hari, ditabur seraya menebar senyum yang ramah. Sapaan dan gurauan harus sering dilemparkan kepadanya. Perlakukan seperti “kekasih” dan “sang artis” akan berjoget dengan anggun dalam istananya.

Seiring jalannya waktu, Rangi tumbuh membesar. Dia telah beranjak remaja. Yang istimewa, sirip dan ekornya ikut mengembang bernuansa ungu-tua, kebiru-biruan. Tubuhnya merah merona. Kami senang memandangnya. Namun, tontonan menarik ini tak bisa bertahan lama. Mengapa?.

Sirip dan ekor Rangi merebak bak bunga mawar. Berwarna-warni, cantik sekali. Tetapi justru karena itulah dia kesulitan dan tak lagi lincah untuk berenang. Ia tak gesit meluncur ke tengah bejana atau, apalagi, permukaaan. Rangi terlalu berat menyandang sirip dan ekor yang semakin mengembang.

Rangi lebih banyak diam di dasar bejana. Sekali-kali naik ke atas, mencaplok makanan dan segera kembali turun untuk meneruskan istirahatnya, bergolek-golek dengan malasnya.

Kecantikan dan kemegahan Rangi adalah anugerah. Sirip dan ekornya membesar, tapi sekaligus membuatnya lesu, seolah tak berdaya.

Fenomena seperti Rangi tak hanya terjadi pada ikan cupang. Garis loreng yang semakin tajam pada harimau, gading yang semakin gagah pada gajah, jalu yang semakin kokoh di kaki ayam jantan atau paruh yang semakin melengkung panjang pada burung elang. Semuanya membuat sang empunya terlihat lebih cantik dan gagah, tapi sekaligus juga membebaninya. Perkembangan kadang berubah hambatan. Penuaan tak jarang menjadi masalah.

Dengan konteks yang berbeda, manusia mengalami fenomena serupa. Bukan beban sirip atau ekor tapi predikat tempelan, seperti “kekayaan”, “kepandaian”, “ketampanan atau kecantikan” “ketenaran”, atau “status sosial”. Tak beda dengan ikan cupang dengan siripnya, salah-salah, pada gilirannya ia menghambat pemiliknya untuk membuat gerakan-gerakan yang (lebih) berarti.

Semakin kental predikat-predikat itu disandangnya, semakin sulit seseorang untuk bergerak bebas. Dia semakin takut kehilangan “sesuatu” yang kadung melekat pada dirinya. Semakin malas membuat terobosan dan lebih senang memilih “diam” sambil menikmati “keanggunan”-nya. Rasa aman dan nyaman menjadi pilihannya. Kalau pun ada sedikit yang tersisa, itu hanya lompatan kecil untuk menyambar makanan di atas permukaan dan kembali lagi berdiam diri di “dasar bejana”.

Itu yang disebut “area kenyamanan”, yang menjebak seseorang untuk berleha-leha menikmati predikatnya, yang justru menahannya untuk melakukan gerakan positif dan produktif. Saya menyebutnya sindrom “ikan cupang”.

Seorang teman yang baru saja diangkat menjadi Managemen Senior di suatu perusahaan, mengeluh kesepian dan asing dengan dirinya. Dia mengaku tak bebas lagi mengeluarkan pendapat atau mewujudkan gagasannya. Rasa “takut bersalah” menghantuinya. Tak leluasa berkiprah, ritme hidupnya tak lagi fleksibel. Dia seperti “mati langkah”, padahal yang mengikat kakinya adalah posisinya sendiri. Dia tak lagi mampu berjoged seperti ikan cupang yang ditindih sirip dan ekornya.

Lantas, apakah tak boleh menambah atau malah menumpuk predikat-predikat itu? Tentu tidak. Kita harus terus menggapainya, bahkan dengan usaha dan kerja yang lebih keras dan keras lagi. Asal jangan lupa, harus ditanamkan kesadaran dalam-dalam bahwa menyandangnya gampang membuat seseorang sulit bergerak. Jalannya menjadi mirip Zombie, kaku, satu-satu dan selalu menunggu.

Hati-hati, jangan mau terjebak sindrom “ikan cupang”. Tubuh bisa membesar atau menua, mungkin semakin paripurna. Tapi pikiran harus dijaga agar terus mampu melanglang ke alam bebas. Miliki dan bangun growth mind set, bukan fixed mind set.

Jangan terjebak pada kemapanan. Pikiran akan majal dan mentok berimajinasi. Padahal imajinasi melahirkan kreativitas, dan kreativitas membuat hidup lebih indah bagi diri sendiri dan bermakna bagi sesama.

“That weighs on human being not their bodies but their negative minds”. (Evelyn Mary Dunbar – 1906-1960; seniman dan guru asal Inggris, yang menjadi pejuang bagi kemanusiaan di PD 2)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here