BAPERAN-BAcaan PERmenungan hariAN
Sabtu, 8 Januari 2022.
Tema: Reputasi pelayanan.
Bacaan
- 1 Yoh. 5: 14 -21.
- Yoh. 3: 22 – 30
DUNIA sekuler itu jelas berbeda dengan Gereja. Walau Gereja ada di dalam dunia. Belum tentu dunia bersama Gereja.
Keduanya bisa saling mempengaruhi, tetapi tidak bisa mencampuri. Masing-masing mempunyai hukum dan dinamikanya sendiri.
Gereja sebagai sebuah paguyuban umat beriman kepada Yesus Kristus diharapkan dapat menerangi hidup umatnya dan dunia sekuler.
Prestasi dan reputasi rupanya masih bisa menjadi sarana refleksi. Dunia sekuler lebih mengutamakan prestasi. Setiap orang bebas, berhak mencapai apa yang ia harapkan. Trik-trik, cara-cara licik dan tak manusiawi kadang dianggap biasa dan hal sepele.
Sementara reputasi terkait dengan kesadaran moral, harga diri dan martabat. Semakin mengembangkan talenta dalam kesadaran moral dan menghargai sesama, alam, ia akan mempertegas martabat pribadinya.
Ia bertumbuh dalam rahmat.
“Halo Pak, apa kabar? Bagaimana dengan keluarga?” sapaku by phone.
“Baik Pastor. Isteri dan anak-anak sehat. Kami bersyukur tidak ada yang terkena Covid-19. Prokes ketat pastor,” jawabnya di HP seberang.
“Kami sangat menjaga keluarga. Mengurangi perjumpaan dan pertemuan. Keluar rumah hanya untuk bekerja. Itu pun sangat hati-hati,” tambahnya.
“Usaha lancar kan?”
“Lancar. Kecuali ke gereja. Kami lihat sikon. Anak-anak masih kecil.”
“Denger-denger mengurangi pelayanan di paroki?”
“Iya.”
“Kenapa? Keluarga keberatankah? Atau pekerjaan yang semakin menumpuk? Anak-anak protes?”
“Di batin sih masih ingin. Tetapi tidak terpilih lagi. Mungkin faktor umur. Saya dengar sekarang yang muda-muda yang diharapkan sebagai ahli generasi. Itu bagus.”
“La. Biasanya kan atas dasar pengajuan komunitas?”
“Saya kurang paham betul. Yang jelas tidak diberitahu dan tidak di ikutsertakan lagi dalam pembekalan dan gladi bersih. Mungkin pula saya tidak dianggap tidak punya reputasi yang baik sebagai asisten imam.”
“Dari sudut mana dinilai? Selalu ada subjektivitas, walaupun kecil.”
“Sudahlah Pastor. Saya tidak mau lagi mengungkit. Pastor tahulah. Saya bersyukur pernah melayani. Dan kalau sekarang tidak diikutsertakan lagi, saya punya tugas yang sangat luhur, tak tergantikan.
Saya lebih mengutamakan keluarga. Saya mengembangkan keluarga dalam iman. Membesarkan anak-anak dalam keterbukaan iman dan sentuhan kasih.”
“Bagaimana keluarga?”
“Ketika tidak diikut-sertakan lagi, sedikit terasa hampa. Ada banyak pertanyaan bahkan pemberontakan batin. Tapi saya cepat sadar. Pelayanan jangan sampai menjadi berhala baru.
Mungkin dianggap tidak berprestasi. Atau termasuk yang tidak ‘dekat’ dengan pastor baru. Ya, nggak apa-apa. Saya tetap pribadi Katolik. Legawa saja, karena sekarang bisa mengurus anak-anak dan keluarga saja.
Bagi kami sekarang, hari Minggu adalah hari keluarga. Kami bisa bepergian, bahkan keluar kota. Kami menikmati hasil kerja kami. Anak-anak senang dan lebih bahagia. Kami lebih akrab, hangat, dekat.
Kami setiap malam masih setia berdoa bersama. Kami saling memberkati. Pertama-tama sebagai orang ua kami memberi tanda salib di dahi anak-anak.
Kami memeluknya.
Saya bilang, ‘Tidur ya. Papi mami sayang kalian. Tuhan Yesus menjaga. Kami juga meminta mereka saling memberi tanda salib. Kadang mereka serius. Kadang juga sambil ketawa. Dikira latihan jadi Romo.’
“Hhhhhhhh… Semoga ya.”
“Dan terakhir di depan anak-anak kami sebagai orangtua juga memberi tanda salib. Lalu kami pelukan.”
“Bagaimana kesan anak-abak melihat itu?”
“Biasalah anak-anak. ‘Ih papi sama mami pacaran.’
Kami hanya tersenyum. Dan kami memeluk mereka bersama-sama.
“Sesuatu yang berarti itu,” timpalku. “Pelayanan itu bukan prestasi. Apalagi kalau sekedar mencari reputasi subjektif-negatif.
Seolah-olah Yohanes menyadarkan, “Anak-anakku, waspadalah terhadap segala berhala.” ay 21.
Tuhan Yesus, semoga keluarga kami Kau jadikan sebuah kesaksian. Sebuah penyucian hidup. Amin.