Selasa, 8 Maret 2022
- Yes. 55:10-11.
- Mzm: 34:4-5.6-7.16-17.18-19
- Mat. 6:7-15
SELALU menjadi kebahagiaan, setiap kali pulang disambut senyum teduh dan tenang dari orang-orang yang terkasih.
Tidak ada tempat yang paling membahagiakan selain, tempat di mana kita boleh menyandarkan hati penuh pasrah.
“Suasana damai dan bahagia itu saya temukan, ketika aku pulang ke rumah dan bertemu orangtua,” kata seorang ibu.
“Namun setelah mereka tiada, saya awalnya seperti kehilangan arah, kehilangan pegangan, saya gontai dan kemudian saya menemukan tempat di gereja, di depan Sakramen Maha Kudus,” lanjutnya.
“Setiap kali saya merindukan orangtuaku, merindukan nasihat dan pelukan sayangnya, merindukan hati untuk memahami situasi pergulatan batinku, saya ke gereja,” ujarnya.
“Saya merasakan punya Tuhan dan Bapa yang baik, yang menjaga dan memberkatiku dengan kasih setia,” ujarnya lagi.
“Bahkan ketika saya mengalami sitausi sulit dengan suamiku, saya dimampukan untuk mengampuni dan menerimanya kembali dalam hidupku,” katanya.
“Bagiku, doa di hadapan Sakramen Mahakudus dengan merenungkan doa Bapa Kami memberi kekuatan dan harapan bahwa Bapa yang di surga selalu mencukupi apa yang saya perlukan, memampukan saya mencintai dan mengampuni, membuat saya berani mengakui dan meminta maaf jika saya bersalah,” katanya.
Dalam bacaan Injil hari ini, kita dengar demikian:
“Lagi pula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan.
Jadi janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya,”
Bapa melihat hati, bukan bungkus dan tampilan luar yang sering menarik kita untuk memberi perhatian yang lebih daripada kesungguhan hati.
Dorongan hati untuk mengalami kemesraan dengan Tuhan mestinya menjadi acuan dalam mengembangkan sikap batin kita dalam berdoa.
Hanya dengan sikap batin seperti itu kita dapat secara jenih melihat dan mendengarkan rencana serta kehendak Bapa bagi diri kita dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Dalam relasi mendalam seperti itu, akhirnya doa tidak memerlukan banyak kata-kata tetapi hanya seperti anak yang pulang dan bergelanjut di tangan bapaknya.
Orangtua kita tahu situasi hati kita meski tidak kita omongkan. Demikian juga Bapa sudah mengetahui apa yang paling kita butuhkan.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah hidup doaku mengalir dari kerinduan hatiku?