ADA banyak anak mengalami kesulitan sangat serius dalam setiap upaya bisa berkomunikasi lancar dengan orangtuanya, terlebih dengan ayah kandungnya.
Dan Romo Agustinus Setyodarmono SJ ini dengan sukahati rela berkisah tentang pengalamannya sebagai anak kandung –mulai sejak kecil hingga sampai dewasa dan bahkan saat sudah menjadi imam pun – yang mengalami kesulitan berkomunikasi dengan ayah kandungnya sendiri.
Ini bukan soal sekunder, misalnya, Romo Setyodarmono SJ itu punya bapak tiri, sehingga komunikasinya itu jadi tidak pernah berlangsung sukses atau omongannya bisa langsung nyambung dengan enak.
Dunia batin dan alam pikir beda
Sama sekali itu bukan. Ini persoalan eksistensial yang mungkin saja banyak dialami oleh anak-anak kandung, ketika dunia batin dan alam pikirnya itu sungguh berbeda dengan “dunia pikiran dan kebatinan” sang ayah.
Tentu, zaman ikut mempengaruhi mengapa komunikasi wawanhati itu tidak pernah kesampaian. Dan hal penting ini dengan bahasa gampang dan renyah bisa disampaikan secara sangat gamblang dalam buku anyar bertitel Bapakkku.
Kisah-kisah kehidupan riil berdasarkan pengalaman personal ini digarap dengan sangat apik oleh Romo Agustinus Setyodarmono SJ, Magister Novis SJ di Kolese St. Ignatius – Girisonta, Ungaran.
Kalau kesulitan berkomunikasi yang tidak pernah nyambung antara anak dan ayah kandungya itu terjadi, maka di sini pertama-tama adalah persoalan beda generasi sehingga beda pula atmosfir kebatinan dan isi pikiran orang.
Produk zaman
Era tempo doeloe itu memang sungguh beda sekali dengan zaman now. Belum lagi kalau harus bicara juga tentang posisi sosial orang di masyarakat ketika punya kedudukan struktural di lembaga pengamanan negara yakni menjadi tentara dan pengajar di Akademi Militer Magelang. Posisi dan jabatan juga menentukan sikap dan perangai orang.
Dulu sekali, orangtua produk “zaman baheula” memang suka tanpa sadar sering mengambil posisi “jaga jarak” dengan anak. Komunikasi dengan anak dan bahkan dengan isterinya pun itu hanya terjadi sejauh itu perlu, ketika orangtua atau sang suami merasa diri sekarang butuh harus diberi “info”.
Kalau tidak, orangtua atau suami itu lalu cenderung hanya diam, inginnya hanya mau menyaksikan “dari jauh”, dan kalau perlu hanya mau sekali omong, dan itu ya harus didengarkan dengan seksama dan dipatuhi.
Sosok orangtua yang jaim –barangkali istilah ini tepat.
Anak dari sononya sejak dulu sampai zaman now punya keinginan untuk “berbagi rasa” dan berbagi kisah. Ini kecenderungan alami di mana anak bisa langsung merasa diri “saya benar-benar masih punya orangtua”. Itu saja.
Nah, elok dan bagusnya buku Bapakku ini justru ada pada kepandaian Romo Agustinus Setyodarmono SJ dalam memotret peristiwa-peristiwa sederhana di mana emosinya “tergugah” dan keinginannya untuk bisa berwawanhati dengan bapaknya itu selalu “kandas di tengah jalan”.
Merasa tidak punya bapak
Buku bangus ini dengan terang-benderang mau mengisahkan “derita batin” dan pergumulan Sang Romo setiap kali dia ingin bisa menyelami “dunia pikir dan batin” bapak kandungnya.
Namun, pada kenyataannya, upayanya itu selalu gagal dan “dunia Bapakku” –begitu kata Romo— sungguh tak mudah bisa terselami. Kadang, frustrasi dan jengkel langsung membebati hati Romo Setyodarmono SJ.
Mungkin orang bisa saja terjebak pada kesan sosok “Bapakku” itu sebagai pribadi yang “tak ramah”. Kesan macam ini sangat mungkin bisa muncul.
Lagi-lagi, pokok masalah bukan soal “watak”, namun sikap seperti itu terpaksa harus ada dan sering muncul sebagai “perangai” karena efek psikologis “produk zamannya”.
Penting dibaca formator dan pemimpin religius
Buku bagus ini menjadi sangat berguna bagi para suster, bruder, dan para imam yang bertugas menjadi pembina dan pendidik. Tak terkecuali juga mereka yang memegang tampuk manajemen kepemimpinan di lembaga religius atau badan swasta lainnya.
Setidaknya, dengan rentetan kisah kehidupan Sang Romo ini, para pendidik ini bisa “memotret” alam pikir generasi muda zaman now yang kini lebih menuntut diberikan akses komunikasi dan ingin “didengarkan” daripada dituntut harus “mendengarkan”.
Buku ringkas ini juga bisa menjadi cerminan refleksi apakah masing-masing formator itu sudah memposisikan dirinya menjadi “Bapak-Ibu” yang baik dan komunikatif bagi para didiknya.
Editor jangan sungkan
Salah satu kelemahan editorial buku ini terletak pada editornya yang kiranya merasa sungkan harus menyunting naskah milik pastor.
Kiranya, mental rikuh pakewuh macam ini perlu dibuang dari pola manajemen redaksional PT Penerbit Kanisius.
Mengapa demikian?
Seorang editor punya hak untuk menyunting naskah, memberesi kalimat yang tidak tersruktur dengan baik dan memotong alinea demi nyamanya pembacaan.
Stuktur kalimat-kalimat dan ungkapan sangat khas tulisan Romo Agustinus Setyodarmono dalam buku Bapakku ini sudah ciamik tenan.
Yang hanya perlu diperbaiki untuk edisi cetak kedua adalah memotong alinea-alinea supaya tidak panjang-panjang. Dan tugas macam ini harus dilakukan oleh editor Kanisius, bukan oleh pembaca.
Data buku
- Judul: Bapakku – Sharing Anak dalam Menyelamai Dunia Sang Bapak.
- Penulis: Romo Agustinus Setyodarmono SJ.
- Penerbit: Yogyakarta – PT Penerbit Kanisius, 2019.
- Jumlah: 152 hlm.