Bareng Tentara Naik Kapal ke Belanda, Sr. Edmunda SFIC Jalani Postulat dan Novisiat di Veghel (3)

0
663 views
Bersama ketiga teman seangkatannya dari Pontianak, Sr. Edmunda SFIC (nomor dua dari kiri) menjalani hari-hari pendidikannya di Veghel, Negeri Belanda sejak tahun 1948 hingga tahun 1953. (Dok. SFIC Pontianak)

EMPAT  orang calon suster SFIC dari Pontianak –semuanya berdarah Tionghoa—itu lalu menjalani hari-harinya tinggal di Veghel sebagai postulan, calon novis SFIC. Setelah setahun menjadi postulan, barulah masa novisiat mereka jalani, juga di Veghel.

“Rombongan angkatan kami di tahun 1948 itu berjumlah 14 orang; empat dari Pontianak dan 10 orang meisjes (noni-noni) Belanda,” kata Sr. Edmunda.

Tantangan dari dua arah

Dalam buku Tuhan Meneguhkan Karyanya: Sejarah Satu Abad Hidup dan Karya Kongregasi SFIC di Indonesia (Nico S. Diester OFM: 2011) ditulis catatan berikut. Ini tentang proses pembinaan (formatio) terhadap keempat calon suster biarawati SFIC asal Pontianak tersebut di Negeri Belanda.

Mereka mengalami tantangan. Pihak pembina (formator) juga mengalami tantangan sekaligus kesulitan.

Kesulitan itu terjadi tidak hanya menyangkut pemahaman yang lebih kental terhadap kosa kata dan makna bahasa Belanda, melainkan juga karena terjadi jurang perbedaan yang sangat menganga dalam hal kebiasaan hidup sehari-hari, mentalitas, dan juga iklim, citarasa makanan, dan masih banyak lainnya.

Bareng Tentara Naik Kapal ke Belanda, Sr. Edmunda SFIC Dipungut Jadi Anak Asrama (2)

Belajar lanjutan

Usai menyelesaikan pendidikan dasar sebagai novis SFIC dan beberapa tahun kemudian mengucapkan profesi pertamanya, keempat suster muda asal Indonesia ini masih melanjutkan studi non formal di Negeri Belanda.

“Saya, sesuai minat dan keahlian, lalu melanjutkan sekolah keterampilan dan urusan kerumahtanggan dengan belajar menjahit, menyulam, membuat pola gambar desain busana, dan lainnya,” tutur Sr. Edmunda.

Sr. Candida SFIC diutus ke Inggris belajar bahasa yang di tahun-tahun berikutnya berkarya sebagai guru bahasa Inggris di Pontianak.

Sr. Hermana SFIC ditugaskan belajar musik sesuai minat dan keahliannya bermain musik.

Pada tahun 1943, keempat suster muda SFIC asal Pontianak itu meninggalkan Veghel di Negeri Belanda untuk kembali ke Indonesia. Lagi-lagi, mereka harus naik kapal besar dan berlabuh di Tanjung Priok untuk kemudian terbang menuju Pontianak dengan pesawat amfibi yang bisa mendarat di Sungai Kapuas.

Belajar bahasa Indonesia

Saat masih di Belanda, mereka tak punya kesulitan dalam berkomunikasi lantaran sejak usia dini sudah belajar Hollandsche sprekken (berbicara dalam bahasa Belanda).

Namun, kesulitan berkomunikasi justru terjadi di Pontianak, sekembalinya mereka dari Belanda. “Kami mulai belajar bahasa Indonesia,” ungkap Sr. Edmunda SFIC tergelak.

Maklumlah, di Pontianak saat itu, semua warga keturunan Tionghoa lebih mengakrabi bicara bahasa Hakka, Tiocu, dan Mandarin daripada bahasa Indonesia yang baru mereka kenal setelah Indonesia merdeka.

“Karena itu, setiap sore selama empat tahun pertama di Pontianak, kami wajib belajar bahasa Indonesia dengan seorang guru lokal yang bicara lancar bahasa Mandarin dan juga bahasa Indonesia,” ungkap Sr. Edmunda.

Usai lancar berbahasa Indonesia, tugas awal yang jatuh ke pundak Sr. Edmunda adalah karya pendidikan di Asrama Nyarumkop yang berlokasi tepat  di bawah Gunung Poteng di Singkawang. “Di sana saya mengajari anak-anak SKP (Sekolah Keterampilan Puteri) keterampilan menjahit, membuat gambar pola desain, dan menyulam,” kata Sr. Edmunda.

Sr. Edmunda SFIC. (Mathias Hariyadi)

Di Nyarumkop, Sr. Edmunda pindak ke RS Kusta Alverno di Singkawang dengan tugas mengajari para pasien kusta belajar keterampilan rumah tangga. Tahun-tahun berikutnya, ia pindah-pindah tugas karya dari satu komunitas SFIC ke tempat lainnya.

Kini, di usianya yang sudah genap 88 tahun, Sr. Edmunda mengisi hari-harinya dengan berdoa.

Ia memang sudah resmi pensiun dari tugas kekaryaan sebagai SFIC. Namun hatinya masih berkobar-kobar untuk bisa meninggalkan legacy bagi para suster muda SFIC.

Di tangan para suster muda SFIC inilah, harapan besar beliau letakkan agar mereka ini  mampu meneruskan karya Kongregasi SFIC yang di tahun 2019  ini akan genap merayakan 175 tahun berdirinya dan 113 tahun karyanya di Indonesia bila dihitung mundur sejak lima suster misionaris Belanda pertama kalinya berlabuh di Singkawang 28 November 1906. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here