Bareng Tentara Naik Kapal ke Belanda, Sr. Edmunda SFIC – Si Anak Segedong Mempawah (1)

0
598 views
Sr. Edmunda SFIC (88 tahun) saat diwawancari Sesawi.Net di Biara Antonius Pontianak, Minggu 4 Maret 2018. (Mathias Hariyadi)

AWAL sejarah nan panjang kiprah Konggregasi Suster Fransiskus dari Perkandungan tak Bernoda Bunda Suci Allah –biasa disingkat SFIC (Sororum Franciscalium ab Immaculata Conceptione a Beata Matre Dei)– di Indonesia ini rupanya masih tersimpan rapi di benak Sr. Edmunda SFIC.

Meski sudah sepuh dan kini telah berusia 88 tahun, namun suster biarawati SFIC ini masih mampu merangkai penggalan-penggalan penting kisah masa lampau dan kemudian menceritakannya. Terutama ketika masih sebagai  remaja puteri di Pontianak di tahun-tahun awal berdirinya Republik Indonesia, Sr. Edmunda SFIC berkisah tentang bagaimana akhirnya ia mengawali masa pendidikannya sebagai calon suster biarawati SFIC di Negeri Belanda.

Lahir pada tanggal 12 Mei 1929 di Segedong  dan  menyandang nama diri sebagai Chin Juan Lian, Sr. Edmunda SFIC mengisi urutan kedua sebagai anak dalam keluarga Tionghoa migran asal Tiongkok. Kedua orangtuanya bernama Chin Sin Hi dan Ny. Chau Khiu.

Mereka berdua berasal dari Meixian atau Meihsien menurut lafal bahasa kuno, sebuah kota kecil di Distrik Meizhou City yang berlokasi di Timur Laut Provinsi Guangdong, Tiongkok.

“Situasi saat itu di Tiongkok membawa kedua orangtua saya meninggalkan Meixian,  pergi berlayar  ke Singapura dan kemudian bekerja sebagai buruh di lahan penambangan timah. Namun, selang beberapa lama, ayah memutuskan pergi meninggalkan Singapura menuju Kalimantan Barat –tepatnya di Kunthien (Pontianak)—untuk mengais hidup baru di Indonesia,” ungkap Sr. Edmunda SFIC dalam perbincangan dengan Sesawi.Net di Biara SFIC Antonius di kawasan Merdeka, Pontianak,  Minggu siang tanggal 4 Maret 2018.

Berlabuh di Seng Hei, Pontianak

Alasan kesehatan dan ekonomi menjadi pelecut motivasi keluarga muda asal Tiongkok ini meninggalkan Singapura dan kemudian berlabuh di Pontianak.

Menurut pengakuan Sr. Edmunda, ayahnya tidak tahan lagi bekerja di lahan penambangan timah, sementara di sana lahan pekerjaan untuk ibunya juga tidak ada. “Saat itu, saya belum lahir,” terang Sr. Edmunda SFIC.

Hari-hari pertama hidup di Kota Khatulistiwa berlangsung di Hotel Borneo yang waktu itu berlokasi di tepi Sungai Kapuas dan tidak jauh dari Pelabuhan Seng Hie. “Kedua orangtua kami menginap di hotel itu yang kebetulan pemiliknya seorang bapak Katolik,” kenang Sr. Edmunda SFIC.

Hidup dan bekerja di Segedong

Rupanya hari-hari pertama menginap di Hotel Borneo di kawasan Seng Hei itu mendatangkan berkah berlimpah bagi pasutri migran asal Tiongkok-Singapura ini.

Menurut penuturan Sr. Edmunda, Pak Bong Shiu Kun –pemilik Hotel Borneo—itu tanpa dinyana di kemudian hari memberi peluang kerja kepada kedua orangtuanya di Segedong yang berlokasi sekitar 30 km dari Pontianak.

Pak Bong, demikian penuturan Sr. Edmunda, menawari ayahnya agar bersedia bekerja di lahan perkebunan kelapa  di kawasan Mempawah. Namun, karena ayahnya tidak punya keterampilan berkebun –seperti misalnya harus memanjat pohon kelapa—maka akhirnya dia ditawari posisi sebagai mandor.

“Sejak itulah, keluarga kami lalu tinggal di Segedong dan menjadi karyawan kebun Pak Bong,” kenang Sr. Edmunda.

Di Segedong  inilah, empat orang anak kemudian lahir dari pasangan suami-isteri asal Tiongkok-Singapura. “Kakak pertama sudah meninggal dan satu adik di Pontianak juga baru saja meninggal beberapa pekan lalu. Satu adik lagi  tinggal di Jakarta,” ungkap Suster Edmunda sedikit berkaca-kaca.

Ketika umurnya baru menginjak usia 10 tahun, kenangnya, ibu kandungnya Ny. Chau Khiu meninggal dunia karena sakit. Sejak itu, goncangan hidup keluarga karena kesulitan ekonomi terasa menjadi beban berat bagi ayahnya.

Namun, lagi-lagi peran besar Pak Bong Shiu Kun –pemilik Hotel Borneo di tepi Sungai Kapuas dan pemilik lahan kebun kelapa di Segedong— menjadi penentu kisah sukses berikutnya. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here