DI Trowulan, Jatim, kira-kira di tahun 2010 silam, kami bertemu tak sengaja dengan Tante Mery. Ia berasal dari Lasem – sebuah kota kecil di garis batas Provinsi Jateng-Jatim.
13 tahun lebih kami tidak pernah kontak. Tiba-tiba saja saya bisa dipertemukan kembali di dalam mobil. Ketika bersama sejumlah suster Kongregasi Suster Notre Dame (SND) dari Puri Indah, Kembangan, Jakarta Barat, kami dalam satu rute perjalanan bersama menuju Lasem.
Kami pergi ke Lasem bersama-sama karena ingin menghadiri perayaan 50 tahun Panti Asuhan LKSA (Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak) Wisma Gajah di Lasem, Oktober 2022 lalu.
Hampir tiga jam kami ngobrol di dalam mobil. Masih merasa saling tidak kenal. Barulah setelah mobil yang kami tumpangi ini tiba sampai di sekitaran Cirebon, intuisi saya mengatakan bahwa saya kenal dengan penumpang perempuan senior dari Lasem ini.
Dari cara jalan dan gaya bicara, saya merasa: “Rasa-rasanya, kami pernah bertemu di rumah Mbak Karno di Trowulan tahun 2010 silam.”
Pertemuan itu terjadi tidak lebih dari 10 menit. Ia hendak pulang kembali ke Lasem, sedangkan kami baru saja tiba dari Surabaya di Trowulan.
Benarlah. Ia memang Tante Mery yang ramah. Karena itu, destinasi mobil rombongan Suster SND setiba di Lasem adalah pertama-tama harus ngedrop Tante Mery di showroom Batik Purnomo Lasem – rumah produksi kain-kain batik etnik Cina khas Lasem miliknya.
Selang beberapa hari kemudian, saya menghampiri rumah produksi Batik Purnomo Lasem milik Tante Mery ini.
43 tahun berkarya
Dari beberapa ibu pengrajin batik di rumah produksi Batik Purnomo Lasem, menjadi jelas bagi penulis bahwa proses kreatif membuat kain-kain batik khas Lasem dengan ciri khasnya sarat etnik Cina ini terjadi karena sistem regenerasi turun-temurun.
Untuk Batik Purnomo Lasem, penulis mendapatkan keterangan dari Tante Mery begini. Sudah mencatat rekor proses kreatif menciptakan kain-kain batik khas Lasem selama 43 tahun.
“Itu ada ibu pengrajin batik di Batik Purnomo ini selama 43 tahun. Seusia anak saya,” terang Tante Mery mengajak Titch TV melongok dapur produksi rumah batik Purnomo Lasem.
Di situ ada sejumlah perempuan pengrajin batik. Masing-masing punya tugas sendiri-sendiri. Berbeda-beda fungsinya.
“Ada yang tugasnya hanya membuat draf pola gambar, mengisi pola. Sedangkan isen-isenan-nya (konten gambarnya) baru dikerjakan pengrajin lain,” tutur para pengrajin perempuan itu menjawab Titch TV.
Hanya kaum perempuan berhak membatik
Kenapa para pengrajin batik itu praktis kaum perempuan?
“Karena kaum lelaki tidak sabaran dalam kerja. Proses produksi batik butuh ketekunan, ketelitian, dan tentu saja kesabaran itu yang utama,” tutur seorang ibu pengrajin.
Kesabaran itu penting, kata si embok pengrajin batik di Rumah Produksi Batik Purnomo Lasem. “Karena untuk satu kain mori batik saja, butuh waktu kerja tidak kurang dari sebulan lamanya. Bahkan, kadang bisa lebih,” terangnya mantap.
Sayang, hari itu merupakan hari terakhir penulis di Lasem sebelum siang nanti pulang ke Jakarta naik bus Shantika dari Terminal Lasem.
Karena itu, niat melihat proses produksi batik tahap pewarnaan dan pengeringan tidak terjadi.
Dengan mengunjung rumah produksi Batik Purnomo Lasem, setidaknya ada beberapa catatan penting yang bisa disimpan. Tentang ciri khas etnik Cina di kain-kain batik khas Lasem.
“Antara lain berupa warna merah, isen-isen berupa sekar jagad, gambar berisi suasana flora fauna, aneka binatang,” terang Tante Mery sumringah. (Berlanjut)