BEL konsekrasi Misa Kudus di Kapel Susteran Santa Maria Metro, Lampung Timur, terdengar saat seorang jabang bayi keluar dari perut ibunya di sebuah klinik bersalin, sekompleks dengan susteran itu. Serta merta si kecil menangis saat diangkat bidan. Sontak Cisilia Listiyani, ibu yang baru saja melahirkan bayi itu berseru,”Wah, jadi romo ini!”
Peristiwa tersebut terjadi 31 tahun lalu. Tepatnya 29 September 1990. Bayi yang dinamai Ian Bagas Brahmanthio lahir dalam kondisi sehat dan kuat di Rumah Bersalin St. Maria Metro, Lampung. Bisa jadi si kecil lebih cocok dinamai Mikhael karena hari itu perayaan para Malaikat Agung. Namun oleh Petrus Sunarto, sang ayah justru diberi nama Krisantus. Harapannya, kelak anak itu seperti Tuhan Yesus yang datang ke dunia untuk melayani.
Sesuai harapan sang ayah dan luapan batin sang ibu, bayi yang sudah dewasa ini sebentar lagi akan menerima Sakramen Imamat. Tanggal 20 Juni merupakan saat penting bagi Bagas yang sudah menjalani pendidikannya di Seminari Menengah Santo Paulus Palembang (2005-2009), Tahun Orientasi Rohani (2009-2010), dan Sekolah Tinggi Filsafat Pematang Siantar (2010-2014), karena saat itu dia bakal resmi menjadi Pastor Diosesan Tanjungkarang, Lampung.
Bisikan doa
Listiyani dan Sunarto berkomitmen melandasi hidup rumah tangga dengan hidup doa. Bagi mereka, doa penjaga hidup dan jiwa. Tak hanya bagi mereka sebagai suami istri, tetapi juga bagi anak-anaknya. Karenanya setiap kali menjelang tidur Listiyani selalu membisikkan doa Bapa Kami, Salam Maria, dan Kemuliaan di telinga bayi kecil Bagas.
Kebiasaan ini terus-menerus dilakukan dan menancap kuat di benak Bagas. Tak heran pula bila Bagas kecil yang saat itu sudah berumur 2 tahun sudah hafal doa-doa itu. Kebiasaan ini bahkan tetap berlangsung sampai adik perempuan Bagas lahir, Irene Saras Ayuni. Sepasang orang tua itu rutin menyediakan waktu setiap hari pukul 18.00 WIB di ruang doa berukuran 3 kali 3 meter di kediaman mereka.
Dalam ibadat sederhana itu, Sunarto dan Listiyani membagi tugas-tugas. Kadang sang ayah memimpin, sang ibu membaca Injil dan mencari lagu juga membaca doa umat, atau sebaliknya. Bagas kecil yang saat itu masih 10 tahun juga ambil bagian dalam kegiatan itu.
Setelah Bagas masuk Seminari Menengah Santo Paulus Palembang dan Ayuni melanjutkan belajar di Yogyakarta, Listiyani dan suami tetap berdoa bersama di ruang doa. “Kalau malam hari kami doa sendiri- sendiri, apalagi kalau ada ujud khusus. Rasanya bisa lebih khusuk, bisa nangis karena curhat dengan Tuhan,”ujar Listiyani.
Doa menjadi andalan Listiyani dan Sunarto. Jika meninggalkan doa, bisa jadi mereka tidak akan kuat menghadapi kerikil dan badai yang dilalui dalam mengarungi rumah tangga. “Yang ada hanyalah rasa ego kami masing-masing,” tambah wanita kelahiran Metro, 23 Desember 1960 ini. Bahkan, meski sudah tidak tinggal di rumah, lewat telepon kepada kedua anaknya, Listiyani selalu mengingatkan untuk senantiasa berdoa.
Sebelah Mata
Menghitung hari. Itulah yang dirasakan Listiyani menjelang tahbisan buah hatinya, Bagas Brahmanthio. Rasa bahagia meluap ketika (Redaksi Majalah) Nuntius bertandang ke rumahnya, di Metro, 21 C, Lampung Timur, Sabtu, 19 Mei 2018. Perempuan yang beprofesi sebagai Pegawai di Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang kota Metro, Lampung ini mengaku sampai menangis setiap kali berdoa.
“Saya sangat bahagia. Saya yang seperti ini, kok anak saya dipilih Tuhan untuk menjadi imam,”katanya dengan suara bergetar menahan tangis gembira. Listiyani selalu mohon agar Tuhan selalu menjaga anaknya dan tidak melepaskan dari kasih-Nya. “Tuhan, engkau telah memilih anak kami. Sekarang saya mohon pada-Mu, Tuhan, jaga anak saya. Pakailah dia dengan segala kekurangan dan kelebihannya, demi kemuliaan-Mu namun seturut kehendak-Mu. Jangan lepaskan dia barang sebentar pun agar dia selalu taat dan setia kepada-Mu.”
Setiap hari doa itu ia panjatkan karena Listiyani mengerti menjadi imam itu tidak mudah, banyak godaan dan badai yang bakal menerpa. Listiyani sadar, pastor juga manusia yang bisa khilaf. Bahkan saat pastor mengalami goncang dalam panggilan, umat bukannya mendoakan atau menegur tetapi malah menggosipkan. “Itu yang mungkin akan dialami anak saya nanti,”ujarnya.
Saat hendak lulus dari seminari menengah, Listiyani mengaku sempat kaget karena Bagas ingin menjadi imam diosesan. Rupanya ia telah berpaling hati. Awalnya, ingin menjadi imam kongregasi. Setelah retret hatinya justru tertambat untuk mengabdi di Keuskupan Tanjungkarang.
Awalnya, Listiyani dan suami kurang mendukung. Mereka pikir pastor diosesan Lampung kurang terpandang, karena dilihat sebelah mata oleh umat. Paling tidak itu menurut pengalaman mereka. Namun, Bagas menanggapi pernyataan ibunya dengan jawaban bijaksana. “Justru itu. Karena dianggap seperti itu, saya akan berusaha supaya para romo projo dipandang kedua mata oleh umat,”ujarnya meyakinkan orangtuanya.
Pernyataan Bagas membuat Listiyani dan Sunarto lega bahkan bangga. Apa pun pilihan Bagas, mereka pun setuju. Bagi Listiyani, yang penting ada kesungguhan dalam menanggapi panggilan Tuhan. Kepada teman-temannya sesama umat Katolik, Listiyani memohon dukungan dan doa. “Tanpa doa, tidak akan kuat,”ujar Listiyani.
“. . . Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!” (Roma 12:12)