DALAM kerumunan orang-orang di halte bis Juanda, saya mulai capek berdiri. Bus TransJak yg tadinya setiap 5-10 menit datang, sekarang harus lebih lama menunggu karena pembatasan pandemi corona.
Terlebih karena perjalanan Jogja-Jakarta semalam dengan kereta tidak membuatku tidur nyenyak. AC terlalu dingin. Kerumunan orang-orang urban yang hendak ke Tangerang dengan TransJak semakin banyak.
Ada beberapa orang tua, tapi kebanyakan pekerja kelas bawah kalau dilihat dari tampilannya. 1,5 jam berlalu dan keluhan-keluhan mulai muncul. Halte kecil itu makin padat karena bis datang dan pergi dari dua sisi.
Kenapa orang-orang ini tetap menunggu? Kenapa saya pun juga tidak beranjak ke seberang untuk mengambil taksi atau online, duduk manis dan bisa tidur sampai ke rumah?
Pertanyaan ini datang berkali-kali dan saya tidak bisa mendapatkan jawabannya. Saya tetap berada di antara kerumunan orang-orang ini dan merasa lebih adil.
Saya teringat masa kecil dan teringat ibu yang selalu makan paling akhir setelah suami dan anak-anaknya (6) makan. Ibu yang memasak, ibu yang menghidangkan, ibu yang makan paling akhir bahkan kadang-kadang tidak kebagian.
Ketika ibu saya tanya, ibu selalu menjawab kalau untuk dirinya sudah menyisihkan makanan di dapur, atau menjawab kalau Ibu sambil memasak sudah mencicipi cukup banyak sehingga sudah kenyang.
Padahal ketika dewasa saya tahu bahwa ibu tidak pernah menyisihkan makanan untuknya di dapur. Ibu telah memilih menderita bukan karena terpaksa tapi karena untuk suami dan anak-anaknya.
Bebas memilih untuk berkorban dan menderita adalah jalan perjuangan sekaligus kehidupan. Namun dia bukan korban atau merasa menjadi korban.
Ia pelaku yang merdeka memilih untuk hidup bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk mendahulukan kebahagiaan dan keselamatan orang lain.
Seperti Isa.
RUY Pamadiken
INNER JOURNEY II artikel 46.