AKU menerawang jauh 20 tahun yang silam sarat akan makna Natal. Pada Bulan Ramadhan, saya turne ke Stasi Sebakung. Setelah misa, Agnes Paijem yang saat itu baru kelas 6 SD, umur 12 tahun, kasih saya rokok GG Surya 16.
Hadiah rokok
Rokok GG Surya 16 adalah rokok kesenanganku. Aku susah melepaskan “Si Suryati” alias rokok Surya 16, Maka, Agnes Paijem dengan tulus dan polosnya memberi rokok sambil ngomong, ”Bapak Pastor, ini persembahan saya selama Bulan Ramadhan. Karena saya kerja di perkebunan sawit dan tiap hari dapat upah 10 ribu.”
Memang selama Bulan Ramadan, anak-anak sekolah di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) tidak turun belajar. Libur Ramadhan digunakan untuk bekerja di kebun sawit.
Setelah Idul Fitri, Agnes Paijem masih kerja; tidak mau sekolah dan tidak mau ikut ujian SD, karena sudah senang kerja dan apalagi dapat gaji (uang).
Ketemu lagi
Setahun kemudian, saya ketemu lagi Agnes Paijem di Stasi Babulu Darat. Dengan bangga, tanpa rasa malu dan masih lugu sebagai anak kampung terpencil dan tanpa dosa, Agnes Paijem memperkenalkan kepada saya:
”Bapak Pastor, ini anak saya; baru lahir sebulan yang lalu; hasil pergaulan bebas. Lha ini suami saya; namanya Tomas Paimin. Sekarang sudah jadi bapak dan mau bertanggungjawab.”
Aku belum memberikan reaksi, Agnes Paijem dengan berani mengungkap sambil bercanda nakal: ”Saya bangga dan saya tidak menyesal. Coba lihat si kecil bayi ini; matanya sipit. Mirip sekali Bapak Pastor.”
Aku hanya tersenyum dan tersenyum. Memang sejak kecil, Agnes Paijem dekat dengan aku, Liem Tjay, seorang imam misionaris yang tekun menembus batas misi kemanusiaan suku pedalaman; khususnya di Penajam. Aku mencoba menyembunyikan rasa heran dan rasa kecewa.
Dalam hati aku hanya berkata. “Aduh Paimin, suami si Agnes Paijem ini. Ia lulus SMP. Dulu, ia adalah anak asrama putera di susteran. Aku ingat enam bulan lalu membaptis dia dengan nama Tomas. Sekarang, aduh cepatnya sudah jadi seorang suami dan bapak.”
Kata Agnes Paijem: ”Bapa Pastor, kasih nama Nicolas saja; kayak Bapa Pastor.”
Aku sungguh terharu dan kagum akan pengakuan Agnes Paijem tersebut. Entah karena aku seorang pastor atau… karena ibu muda ini telah dengan tulus dan gembira menceriterakan pengalamannya atas kelahiran anaknya di luar nikah.
Entah berapa ribu atau juta gadis yang hamil di luar nikah, karena pergaulan seks bebas dan kemudian menggugurkan kandungannya. Kiranya tidak ada data yang akurat. Sedangkan gadis lugu ini telah dengan rela dan berkurban terus mengandung dan melahirkan anaknya. Rasanya, keberadaan dia hanya sebagian kecil saja dari kasus-kasus perempuan muda hamil pra nikah.
Pikiran ku terus menerawang jauh dan jauh. Melahirkan itu memang sudah sakit dan menderita. Lalu, bagaimana dengan wanita-wanita yang melahirkan dalam keadaan miskin dan papa? Bagaimana dengan bayi-bayi yang lahir dalam keadaan miskin dan dalam keadaan tersingkir? Bayi-bayi yang lahir produk perbuatan tak terpuji orangtuanya?
Bayi yang dibuang atau bayi yang diletakkan begitu saja di depan pintu panti asuhan bayi? Bayi-bayi yang lahir di kolong jembatan. Juga bayi-bayi yang lahir di semrawutnya kampung yang kumuh dan kotor? Bahkan lebih telak lagi, ibu atau ayahnya atau keduanya tak mau bertanggung jawab?
Agnes Paijem nampak damai dan bahagia. Juga tidak lagi memperlihatkan kemurungan, kekecewaan atau kesedihan atas peristiwa yang telah dialaminya. Seorang anak yang dianugerahkan kepadanya. Lengkap dengan cara yang mungkin kurang atau tidak terpuji oleh masyarakat pada umumnya. Namun kelahiran orok itu tetap dia terima dengan damai dan gembira.
Pengakuan Agnes Paijem… ya… ya…
Pengakuan Agnes adalah asli, tiada lipstik kepalsuan yang menutupi wajahnya.
- Sadar akan ketidakberdayaan dalam menanggung aib.
- Sadar akan kemiskinan dan keterbatasan untuk meneruskan pendidikan yang lebih tinggu.
- Sadar akan ketertinggalan dan keterbelakangan diri sebagai gadis di daerah transmigrasi.
Tapi apa daya? Semua sudah terjadi dan diterima dengan jujur. Inilah pertobatan yang mengubah Agnes Paijem menjadi seorang wanita, ibu yang terus berjuang agar buah hati si kecil tetap hidup dan hidup.
Agnes Paijem tetap memeluk si kecil dengan selimut kasih, naluri seorang ibu. Agnes Paijem sudah masuk dalam lumpur dosa. Namun ia tetap berjuang berenang mengarungi samudera sampai mendarat di sebuah palungan kecil. Meletakkan si bayi kecil itu di atas jerami palungan.
Damai dan damai
Kelahiran seorang anak, karena alasan apa pun anak tersebut ‘ada’ dan dilahirkan. Maka pada hematku memang harus disambut dengan damai sejahtera dan bahagia sebagaimana disabdakan oleh Penginjil Yohanes: “Seorang perempuan berdukacita pada saat ia melahirkan, tetapi sesudah ia melahirkan anaknya, ia tidak ingat lagi akan penderitaannya, karena kegembiraan bahwa seorang manusia telah dilahirkan ke dunia” (Yoh 16:21).
Begitulah Natal. Kehidupan nyata yang dialami oleh Agnes Paijem dan pasti ada gadis gadis di mana saja yang senasib dengan Agnes Paijem.
Begitulah Natal. Maria, gadis desa Nazaret 2.000 tahun yang lalu melahirkan dan meletakkan bayi Yesus di atas jerami palungan.
Begitulah Natal. Peristiwa kelahiran manusia biasa yang tidak pernah diekspos atau diviralkan. Di balik itu ada Allah yang ikut bekerja sebagai ahli kandungan yang menjamah “janin” di dalam rahim wanita yang malang dan terhalang. Namun Allah berkuasa menembus jalan buntu persoalan manusia zaman sekarang.
“Bagi Allah tidak ada yang mustahil.” (Lukas 1:37)
Memaknai Natal
Natal adalah pertemuan dengan Bayi yang baru lahir berbaring di gua yang sederhana. Saat merenungkan-Nya di palungan, bagaimana kita bisa gagal memikirkan semua anak yang terus dilahirkan hari ini dalam kemiskinan yang parah di banyak wilayah di dunia?
Bagaimana kita bisa gagal memikirkan bayi yang baru lahir yang tidak diterima, yang ditolak, yang tidak mampu bertahan hidup karena kurangnya perhatian dan perhatian?
Bagaimana kita bisa gagal memikirkan juga keluarga yang merindukan kegembiraan seorang anak dan tidak melihat harapan mereka terpenuhi sakit?” – Paus Benediktus XVI, Audiensi Umum “Makna Rohani Natal”, 17 Desember 2008.
Begitulah Natal – Lembaran hidupku di Penajam, Kaltim, 20 tahun lalu.
Malam Natal 24 Des 2024
Nico Belawing Setiawan OMI
Pastor rekan di Paroki Katedral Kristus Raja