Belajar dari Kontroversi di Merauke: Hierarki Gereja Katolik Sebaiknya Punya Juru Bicara

0
0 views
Ilustrasi. (Ist)

“Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga.” (Gaudium et Spes 1)

Belajar dari kontroversi PSN di Merauke

Selama beberapa bulan terakhir ini, saya mencoba mempelajari berbagai berita, seminar, dan diskusi soal Proyek Strategis Nasional di Papua dan khususnya di Merauke.

Tanggal 4 November 2024, saya sengaja menghadiri Seminar Nasional “Proyek Strategis Nasional (PSN) Merauke: Dampaknya Pada Masyarakat Adat dan Alam Papua”. Ini diselenggarakan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara di Jakarta. 

Tanggal 10 November 2024, saya mengikuti Serial Diskusi Papua #2 berjudul “Menakar Kebijakan Food Estate Merauke” dengan moderator Bu Rina Mardiana dari Pusat Studi Agraria IPB University.

Saya juga mempelajari diskusi 11 November 2024 dalam Sidang Raya PGI di Toraja mengenai krisis kemanusiaan di Papua.

Tentu saja, saya juga membaca berbagai berita di media tentang PSN di Merauke. Antara lain dari:

  • Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.
  • Majalah Tempo.
  • Berbagai media lainnya; termasuk media lokal di Papua. 

Untuk itu, saya bahkan membuat google drive khusus berisi dokumentasi soal Papua dan Food Estate di Papua.

Kedua google drive berupa perpustakaan tumbuh tersebut bisa diakses di:

Kesimpulan sementara saya adalah bahwa selain apa yang dikatakan pemerintah bahwa PSN adalah untuk tujuan swasembada pangan dan energi, saya semakin melihat hal berikut ini.

  • PSN adalah bagian dari strategi pemerintah dan aparat keamanan.
  • PSN juga adalah proyek yang dimanfaatkan berbagai perusahaan untuk menikmati dana APBN dan sebagai cara untuk menguasai kepemilikan tanah untuk diperjualbelikan.

Proyek swasembada pangan dan energi biarlah gagal seperti telah terjadi sebelumnya dengan MIFEE di Merauke maupun di Kalimantan.

Namun sudah ada pihak-pihak yang justru memperoleh keuntungan.

Kontroversi sikap Uskup Agung Merauke

Tanggal 25 September 2024, Mgr. PC Mandagi MSC didampingi Romo John Kandam sebagai Sekretaris Uskup menerima Mayjen Ahmad Rizal Ramdhani sebagai Kepala Satgas Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian. Ia didampingi beberapa orang lain untuk menyampaikan rencana pemerintah untuk mencetak sawah 1 juta hektar di Kabupaten Merauke.

Judul berita Liputan 6 tanggal 26 September 2024 berbunyi: “Uskup Agung Merauke Dukung Program Cetak Sawah, Proyek Kemanusiaan untuk Rakyat Papua.” Dukungan Mgr. PC Mandagi MSC untuk proyek tersebut yang disebarkan dalam bentuk video dan berita segera tersebar luas.

Isinya adalah harapan Mgr. PC Mandagi MSC agar:

  • Proyek tersebut melibatkan masyarakat.
  • Sungguh untuk kemanusiaan yang selaras dengan tujuan Gereja untuk kemanusiaan. 
  • Jangan sampai perusahaan yang datang menipu dan merugikan masyarakat dan alam.
  • Proyek tersebut harus mengangkat martabat manusia.
  • Jangan sampai proyek ini menghancurkan orang Papua dan tanah Papua.
  • Proyek ini juga seharusnya berjalan bersama proyek pendidikan, ekonomi, kesehatan, sosial, dan berbagai upaya kemanusiaan lainnya.
  • Jangan menghancurkan adat, agama, dan alam Papua. 

Menurut Mgr. PC Mandagi MSC, Tuhan menciptakan tanah agar tanah itu juga dikelola untuk kehidupan. Manusia jangan jadi bodoh, karena telah membiarkan tanah tidak dikelola.

Tanah harus dikelola untuk masyarakat. Jangan sampai masyarakat Papua tersingkir.  

Gelombang protes

Dukungan Mgr. PC Mandagi MSC sebagai Uskup Keuskupan Agung Merauke atas proyek mencetak sawah 1 juta hektar tersebut menimbulkan gelombang protes dari berbagai pihak yang membela masyarakat adat.

Berbagai kelompok masyarakat kecewa, marah, dan meminta Mgr. PC Mandagi MSC untuk memberikan klarifikasi dan meminta maaf kepada masyarakat.

Tanggal 12 November 2024, saya mendengar berita bahwa Mgr. PC Mandagi MSC sudah bersedia untuk berjumpa, mendengarkan, dan membuka ruang dialog dengan mengunjungi masyarakat adat dan kemudian akan menyampaikan aspirasi masyarakat adat ke pihak pemerintah.

Dengan itu, Mgr. PC Mandagi MSC sekali lagi berusaha untuk menjadi jembatan antara masyarakat dengan pemerintah.

Syukur kepada Tuhan.

Hirarki Gereja Katolik sebaiknya punya juru bicara

Belajar dari kontroversi PSN di Merauke dan di Papua tersebut saya ingin mengusulkan agar hierarki Gereja Katolik segera membentuk dan melatih juru bicara Gereja Katolik dalam masalah-masalah sosial kemasyarakatan.

Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Komisi Komunikasi Sosial KWI, Keuskupan, Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan, serta para sekretaris di lingkungan KWI, keuskupan, lembaga hidup bakti, lembaga Katolik, dan komunitas Katolik hendaknya memiliki biro/kantor/unit/tim komunikasi.

Mereka bertindak sebagai juru bicara Gereja Katolik dalam menanggapi berbagai masalah sosial kemasyarakatan.

Saat ini, Gereja Katolik Indonesia mau tidak mau harus terlibat dan ditanya sikap Gereja Katolik dalam berbagai masalah sosial kemasyarakatan.

Gereja Katolik akan ditanya bagaimana sikap Gereja Katolik dalam berbagai hal, misalnya, soal Izin Usaha Pertambangan, pemilu, pembangkit listrik, bencana alam, korupsi, program pemerintah, kemiskinan, hubungan antar umat beragama, masyarakat adat, hukum, HAM, ekonomi, politik, dll.

Ketika Gereja Katolik atau lembaga Katolik ditanya pendapat dan sikapnya, kita tidak bisa lagi menghindar dan diam tidak berpendapat.

Gaudium et Spes artikel 1 menjadi dasar keterlibatan Gereja Katolik dalam masalah-masalah sosial kemasyarakatan.

Kriteria juru bicara Gereja Katolik

Saya berharap bahwa juru bicara Gereja Katolik itu memenuhi beberapa syarat kompetensi yang tentu saja memerlukan pelatihan.

Tanggal 4 Oktober 2024, saya misalnya mengikuti pelatihan juru bicara perubahan iklim yang dilaksanakan GreenFaith bekerjasama dengan Tempo Academy.

Dalam latihan tersebut, kami diberi penjelasan mengenai cara kerja media, memberikan konferensi pers, menjawab pertanyaan pers, dan lain-lain oleh para wartawan dan tim edukasi Tempo Academy.

Pertama, juru bicara atau jubir harus didukung tim riset yang sungguh memiliki data dan memahami data dari berbagai aktor dan perspektif.

Misalnya kalau menyangkut PSN di Merauke, jubir tersebut harus punya data proyek apa saja, di daerah mana, siapa aktor-aktornya, proses penyusunan rencana PSN, aspek hukum, aspek ekonomi, aspek lingkungan, aspek sosial, menyangkut masyarakat (adat) yang mana,  dll.

Kedua, jubir harus mempunyai akses ke jaringan dengan LSM, lembaga, tokoh, pemerintah, pengusaha, akademisi, partai, masyarakat, masyarakat adat, lembaga sosial dan agama, media, aparat keamanan, dll.

Ketiga, jubir harus menguasai pengetahuan umum dan pengetahuan yang luas tentang ajaran Gereja tentang masalah-masalah sosial kemasyarakatan serta mampu menjelaskannya.

Dalam kasus Merauke, ketika Mgr. PC Mandagi MSC menggunakan pendekatan bonum commune, tapi  ternyata itu tidak dipahami dan tidak diterima masyarakat.

Keempat, jubir harus dilatih dan ahli dalam mendengarkan, berkomunikasi, berdialog, berbicara, resolusi konflik, menggunakan media sosial, mampu menghadapi pers dan media, pandai memberikan keterangan pers dan menjawab pers, aktif di berbagai forum dan seminar serta diskusi, dll.

Kelima, jubir sebaiknya seseorang atau suatu tim dibantu para ahli yang memiliki integritas, dikenal, dihormati, dipercaya dan dinilai paham masalah serta mampu berdialog dengan berbagai pihak dengan cara yang terbuka, jujur, dan terhormat.

Apakah sebaiknya Gereja Katolik punyai jubir?

Saya merasa Gereja Katolik semakin membutuhkan biro/kantor/unit/tim komunikasi yang bertindak sebagai juru bicara Gereja Katolik dalam menanggapi berbagai masalah sosial kemasyarakatan.

Siapa yang membentuk dan melatih jubir tersebut?

Bisa KWI, Keuskupan, Unio Indonesia, perguruan tinggi Katolik, atau lembaga mana saja dengan melibatkan akademisi, media, dll.

Sebaiknya tidak ditunda-tunda. Karena kebutuhan semakin mendesak dengan bertambahnya keterlibatan sosial kemasyarakatan Gereja Katolik di Indonesia.

Dengan demikian Gereja Katolik akan bisa menghindari sikap salah paham, salah omong, dan salah bertindak.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here