CIAMIS di Provinsi Jawa Barat dan Pontianak di Provinsi Kalimantan Barat adalah dunia hidup sosial yang amat berbeda. Tidak hanya karena masyarakatnya berbahasa beda. Kami di Pontianak sehari-hari berbicara memakai ‘bahasa ibu’ yakni Tiociu dan sebagian lagi berbicara dalam bahasa Hakka, sedangkan masyarakat Ciamis di Jabar bicara bahasa Sunda.
Lalu, kami di Pontianak, masyarakatnya terdiri dari tiga etnis besar yakni Tionghoa, Dayak, dan Melayu. Sementara, di Ciamis praktis mayoritas penduduknya adalah orang Sunda.
Pengalaman mengikuti program outreach berupa live in selama beberapa hari di Dusun Sukatani, Desa Mandalagiri – sebuah permukiman penduduk di luar kota Ciamis, Kabupaten Tasikmalaya — sungguh menjadi sebuah pembelajaran hidup. Setidaknya bagi saya pribadi, mahasiswi semester pertama asal Pontianak yang kini tengah belajar akuntansi di Unika Atma Jaya Kampus BSD.
Hidup berbeda
Hal sama bisa jadi juga dialami oleh teman-teman kolega mahasiswa Atma Jaya lainnya. Itu karena banyak mahasiswa yang kini belajar di Unika Atma Jaya itu – baik di Kampus Semanggi, maupun Kampus Serpong – berasal dari luar kota; bahkan beberapa datang dari luar Jawa.
Saya dan teman-teman membawa segudang latar belakang berbeda, ketika kami serombongan masuk ke dalam keseharian masyarakat pedesaan di Desa Mandalagiri, Ciamis, Kabupaten Tasikmalaya ini. Di antara kami sendiri saja sudah sangat berbeda. Nah, ini apalagi masuk ke dalam komunitas masyarakat yang sungguh berbeda dari kebanyakan para mahasiswa-mahasiswi program studi akuntansi yang ikut dalam program outreach ini.
Pengalaman pertama
Setiap pengalaman pastilah melahirkan banyak kenangan. Program live in di Desa Mandalagiri di Ciamis ini pun telah menimbun banyak hal positif bagi saya pribadi. Juga bagi segenap teman seperjalanan saya dari Kampus Unika Atma Jaya di Semanggi dan Serpong yang berangkat bersama menuju Ciamis dengan modal transportasi kereta api dari Stasiun Senen menuju Tasikmalaya.
Kami berangkat pada hari Jumat malam tanggal 15 Desember 2017 dan kembali ke Jakarta hari Minggu siang tanggal 17 namun baru tiba di Stasiun Senin pada hari berikutnya: Senin, 18 Desember 2017.
Gempa tektonik
Goncangan batin pertama –kalau pun bisa disebut demikian—terjadi di sepanjang perjalanan naik KA dari Senen menuju Bandung. Kami meninggalkan Stasiun Senen pada jam sebelum datangnya waktu tengah malam dan diharapkan sudah bisa sampai di Stasiun Cimahi ketika waktu sudah merujuk dinihari dan kemudian perjalanan kereta bisa berlanjut ke Stasiun Bandung. Tiba-tiba saja, muncul berita heboh bahwa kawasan Jawa Selatan –termasuk Tasikmalaya— barusan diguncang gempa tektonik dengan kekuatan besar.
Kami yang di dalam gerbong-gerbong kereta menjadi panik. Belum lagi, ketika petugas train dispatcher memutuskan harus menahan laju kereta api di Stasiun Cimahi dan tidak mengizinkan kereta api melanjutkan trip menuju Tasikmalaya. Kami tertahan selama beberapa jam di situ dan setelah semua dinyatakan clear dan jalur rel dalam kondisi oke, maka kami pun boleh berangkat menuju Stasiun Tasikmalaya.
Lucunya, di Stasiun Bandung, kereta api kami tertahan lagi. Dan train dispatcher tidak mengizinkan trip ini melanjutkan perjalanan menuju Tasikmalaya. Itu karena laporan kondisi situasi pasca gempa tektonis tidak jelas dan suasananya jadi serba tidak pasti.
Akhirnya, kami hanya bisa berpasrah. Sejenak kemudian, kereta api diputuskan balik lagi ke Jakarta… dan tiba-tiba saja kemudian balik arah lagi menuju arah Tasikmalaya. Balik arah dan berhenti tapi kemudian maju lagi ke arah berbeda lagi.
Lapar dan lelah telah mengisi jam-jam penuh menegangkan ini di dalam gerbong. Namun, rasa lega merajai perasaan kami, setelah akhirnya KA Serayu itu boleh tiba dengan selamat di Stasiun Tasikmalaya.
Kami tiba di sana pagi hari, setelah beberapa jam terhambat perjalanan kami sehingga telat datang. Semestinya, dinihari kami diharapkan sudah bisa naik angkot meninggalkan Tasikmalaya menuju Ciamis. Kali ini, kami baru bisa berangkat ke Ciamis ketika hari sudah mulai tidak gelap lagi.
Gegar budaya
Goncangan kedua terjadi di dalam batin kami masing-masing. Orang pandai menyebut hal ini sebagai ‘gegar budaya’.
Hal ini terjadi, ketika orang dari khasanah sosial tertentu harus masuk dan mulai mengadopsi semua kebiasaan dan tata nilai baru di masyakat yang benar-benar berbeda dari keseharian mereka sebelumnya.
‘Gegar budaya’ itu juga terjadi pada teman-teman kuliah dan tanpa terkecuali juga saya.
Perasaan saya terusik oleh berbagai ketakutan dan kekhawatiran seperti di bawah ini:
- Mungkinkah saya bisa menyesuaikan diri dengan keluarga baru dimana saya dan beberapa teman akan tinggal menetap selama dua hari ke depan?
- Apakah saya bisa hidup di sebuah situasi permukiman pedesaan yang amat berbeda dengan lingkungan hidup saya di Pontianak dan Tangerang dimana dulu dan sekarang saya tinggal?
Ratusan tanda tanya itu sudah mengisi otak dan batin saya, jauh-jauh hari sebelum hari H keberangkatan menuju Ciamis. Cemas, itu sudah pasti. Namun, untunglah dalam hitungan jam, semua kecemasan itu tidak lagi menguasai saya.
Yang terjadi, saya malah bisa menikmati suasana hidup yang baru di tengah masyarakat Sunda Muslim yang ramah dan hangat menerima kami sebagai ‘anggota baru’ dalam keluarga mereka.
Ini sungguh mengasyikkan. Sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan dan apalagi kini saya benar-benar mengalaminya sendiri sebagai sebuah kenyataan empiris. Kini, seorang mahasiswi Tionghoa asal Pontianak – Kalbar, sehari-hari berbahasa Tiociu telah bisa hidup bersama dengan ‘keluarga baru’ saya yang semuanya orang Sunda, berbahasa Sunda dan Muslim yang sangat ramah dan menganggap kami sebagai saudara.
Inilah indahnya Indonesia, kalau saya boleh membawa pengalaman pribadi ini ke dalam pemikiran yang lebih luas lagi. Indonesia yang berciri masyarakat pluralistik dan perbedaan dalam banyak ragam ini layak menjadi ‘berkah’ yang pantas disyukuri.
Ternyata beda itu indah dan hal itu telah menjadikan kita sebagai bangsa Indonesia itu sangat kaya dengan aneka budaya, bahasa, tata nilai, dan juga resep masakan yang beraneka ragam.
Enaknya pepes ikan
Di sebuah keluarga Sunda yang sederhana dimana kami tinggal dua hari ada sebuah kolam. Di situ ada banyak jenis ikan dipelihara. Ada gurami, nila, mas, dan lainnya.
Sekali waktu, kami disuguhi menu makanan khas orang lokal Sunda di situ: ikan bakar dan menu pepes ikan. Ternyata enak sekali— sangat berbeda dengan menu makanan sehari-hari kami di Pontianak dan Jakarta.
Itulah indahnya perbedaan; termasuk beda tempat, maka akan beda pula resep menu makanan. Untuk citarasa masakan, sungguhlah benar bahwa lidah itu tak pernah bisa bohong.
Damainya hidup di desa
Orang modern kini semakin menyenangi nikmatnya hidup di alam pedesaan: hawa sejuk, udara bersih bebas polusi, alam sekeliling hijau, dan tidak ada kemacetan lalu lintas.
Namun, jangan sampai tidak ada ‘koneksi’ dengan dunia luar. Karena itu, tersedianya jaringan komunikasi nirkabel di Desa Mandalagiri menjadikan hidup dua hari di pedesaan itu bukan sesuatu hal yang menyiksa. Sebaliknya, menyenangkan karena memberi banyak pelajaran baru tentang hidup sosial.
Di permukiman pedesaan ini, saya dan teman-teman belajar tentang kearifan lokal. Yakni, bagaimana penduduk setempat memanfaatkan kekayaan alam berupa bambu sebagai komoditas. Sementara orang lain bekerja sebagai buruh di kota, banyak penduduk lokal menjadi ‘tuan atas dirinya sendiri’ dengan memproduksi aneka barang berbahan baku dari bambu yang dianyam.
Lainnya mengisi hari-harinya dengan membuka warung kelontong atau toko sembako. Keluarga dimana saya tinggal hidup dengan membuat produk anyaman bambu. Dan senangnya kami diajari oleh kedua ‘orangtua’ kami bagaimana mengolah batang-batang bambu dan kemudian menjadikannya sebagai bahan anyaman untuk bèsèk, bakul nasi atau kontainer lainnya.
Sekat untuk kamar mandi dan WC outdoor juga terbuat dari anyaman bambu. Awalnya, kami ragu apakah nyaman mandi di situ. Saya bisa melakukannya, namun ada teman yang hingga dua hari memilih tidak berani mandi di ‘alam terbuka’ dan menjadikan tisu basah sebagai alat mandi darurat.
Terletak di lereng kaki Gunung Galunggung menjadikan kawasan permukiman penduduk di Dusun Mandalagiri ini senantiasa sejuk. Ini sangat berbeda dengan kota kelahiran saya di Pontianak yang terletak di lintas Garis Katulistiwa sehingga panas terik menjadi irama hidup sehari-hari.
Di situ banyak air. Karena itu, penduduk memanfaatkannya untuk kolam ikan. Ini juga sesuatu yang sama sekali baru bagi saya. Di Pontianak, amat jarang keluarga-keluarga di kota memiliki lahan untuk memelihara dan beternak ikan.
Pemandangan seperti ini sungguh merupakan kearifan lokal darimana saya belajar sesuatu.
Hal-hal baru inilah yang sebenarnya menggerus ketakutan dan kecemasan kami sebelum kami berangkat ke tujuan. Rasa ingin tahu dan mengalami sesuatu yang sangat beda dari keseharian hidup kami menjadi pemicu semangat. Belum lagi ada cerita bahwa alam dan pemandangan di Mandalagiri ini sungguh menawan.
Klop sudah antara harapan dan kenyataan.
Pengembangan diri
Program live in ini diusung membawa tema “Excellent self in any fields”. Kegiatan outreach ini dirancang sebagai bagian pembelajaran pengembangan soft skills untuk 249 mahasiswa baru Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Atma Jaya.
Nah, setelah dua hari mengenyam dunia keseharian yang amat berbeda itu, saya mulai menyadari bahwa di sekitar kita ada banyak kearifan lokal. Di situ saya mulai belajar mengenal diri dan juga lingkungan sosial dimana kita berada; entah di keseharian kita atau di lingkungan yang baru seperti di Ciamis ini.
Lalu, semua pengalaman ini untuk apa?
Rasanya, saya harus bilang bahwa pengalaman live in selama dua hari itu semakin membuka cakrawala hidup bahwa berbeda itu merupakan sesuatu yang indah dan memperkaya hidup.