Renungan Harian
Minggu, 25 April 2021
Bacaan I: Kis. 4: 8-12
Bacaan II: 1Yoh. 3: 1-2
Injil: Yoh. 10: 11-18
KETIKA saya pertama kali tiba di Dili Timor-Timur (Timor Leste) Rektor Kolese Pater Albrecht mengeluh mengapa saya dikirim ke sini, sementara menurut beliau Seminari Bunda Maria Lahane tidak membutuhkan tenaga.
Kemudian Pater Albrecht meminta saya untuk membantu Pater Rutten mengurus “toko” kecil melayani kebutuhan seminaris berkaitan dengan fotocopy dan alat tulis.
Mendengar apa yang dikatakan Pater Albrecht, saya shock apalagi saya mendapat tugas “hanya” mengurus “toko” kecil itu.
Tetapi tidak ada pilihan lain bahwa saya taat menjalankan tugas itu.
Saya melayani seminaris yang fotocopy atau membutuhkan alat tulis. Terlintas dalam diriku: “Datang jauh-jauh hanya untuk jadi tukang fotocopy?”
Setelah sepekan menjadi “tukang” fotocopy, saya dipanggil Pater Albrecht untuk wawancara.
Beliau berkata: “Iwan, saya tahu bahwa kamu pasti tidak suka atau marah dengan tugasmu sekarang ini. Saya tahu bahwa kemampuanmu pasti lebih dari sekedar menjadi “tukang fotocopy”.
Saya sendiri juga masih belum tahu tugas apa yang hendak saya berikan kepada kamu. Namun saya minta kamu menjalankan dan menghayati tugas itu sebagai sarana belajar menjadi gembala yang baik.
Kamu harus memastikan bahwa para seminaris yang kamu layani mendapatkan pelayanan yang terbaik.
Saat memfotocopy pastikan hasilnya amat baik, bahkan kalau perlu mereka mendapatkan hasil yang amat baik yang tidak mereka duga.
Berilah saran pada mereka kalau apa yang hendak di fotocopy kurang baik.
Belajarlah untuk memberikan waktumu sepenuhnya untuk melayani kebutuhan mereka. Sekarang hanya kebutuhan fotocopy dan alat tulis.
Mungkin suatu saat nanti kamu harus melayani orang-orang berkaitan dengan kebutuhan hidup mereka. Pada saat itu mungkin bukan hanya waktu yang diminta darimu, tetapi hidupmu bahkan nyawamu.”
Kata-kata Pater Albrecht pada saat itu bagiku berbunyi sekedar penghiburan atas kegundahanku dengan tugas “sepele” itu.
Namun tidak untuk saat ini. Kata-kata itu amat berharga, karena beliau menunjukkan dengan hidupnya.
Pada saat jajak pendapat dengan hasil Timor-Timur lepas, Pater Albrecht berkeliling membagikan kebutuhan hidup untuk banyak orang yang mengungsi.
Beliau tanpa lelah dan tanpa takut bergerak untuk memastikan bahwa mereka yang dilayaninya mendapatkan hidup yang baik. Dan karena tindakannya itu bukan hanya waktu, tenaga yang diberikan, Ia telah memberikan nyawanya.
Ia ditembak di depan pastoran dan meninggal.
Bagiku beliau telah menjadi martir yang luar biasa. Beliau telah memberikan nasihat yang luar biasa. Beliau telah memberikan teladan sebagai gembala yang baik pada seorang frater sombong yang marah karena hanya jadi tukang fotocopy.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Yohanes: “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya.”
Bagaimana dengan aku? Apakah aku seorang gembala yang baik?
Pater Albrecht, doakanlah aku.