Benarkah Persatuan Gereja Ambyar?

0
297 views
Ilustrasi: Paus Fransiskus dan Patriark Kirill dari Gereja Ortodoks Rusia (NCR)

DALAM ilmu public speaking, salah satu strategi yang ditetapkan agar pembicaraan efektif adalah dengan mengemukakan kondisi kebalikan dari hal yang hendak dimenangkan.

Maka, biasanya jika dosen hendak menegakkan disiplin belajar, hal yang harus ia sampaikan kepada mahasiswa adalah cerita-cerita seputar beberapa mahasiswa yang menjadi “maba” di kampus. Maba itu bukan akronim dari mahasiwa baru, melainkan mahasiswa abadi.

Atau, jika orangtua ingin menghentikan anak-anak dari kecanduan pakai HP, maka berikan mereka tontonan video remaja-remaja yang menjadi OGDJ gara-gara terlalu keranjingan bermain game.

Doa mohon persatuan

Demikianlah, ketika Injil Yoh 17:20-26 bicara tentang doa Yesus mohon persatuan bagi para pengikut-Nya, kita sebaiknya berbicara tentang konflik atau hal-hal yang merupakan konsekuensi dari tidak adanya persatuan.

Doa mohon persatuan itu pada hakikatnya adalah media yang membuka ruang bagi lahirnya konflik dalam batin orang-orang yang menyukai permusuhan.

Dengan perkataan lain, jika doa persatuan ini dibicarakan tanpa kesadaran akan adanya konflik di dalam komunitas, di dalam keluarga, di dalam rumah kita, dan di dalam hati kita masing-masing, kita hanya membuat repetisi atau pengulangan.

Bahkan malahan bisa membuat kabur hal-hal yang sebenarnya telah dinyatakan secara amat jelas dalam Injil.

Banyak pengkotbah menghabiskan waktu untuk menjabarkan lebih lanjut Kabar Gembira, padahal Injil tidak memiliki kekurangan yang harus ditambahkan.

Perumpamaan Yesus jauh lebih ringkas, lebih mudah dipahami, dan lebih mengarahkan orang ke Bapa di surga daripada kisah inspiratif-sensional dari biarawan-biarawati di platform Tik-Tok dan YouTube.

Konflik

Maka, sebaiknya sekarang kita bicarakan konflik. Dalam kehidupan bersama, konflik bisa terjadi karena alasan sepele, ya seremeh kisah berikut ini.

Ferdi, seorang pemuda yang setelah sekian lama hidup sendiri menemukan Tina, kekasih pujaan hatinya. Tapi pernikahan mereka tidak berlangsung lama, karena perbedaan keyakinan.

Kanis yang merupakan sahabat Ferdi mempertanyakan perihal penyebab perpisahan mereka.

“Kenapa sampai kalian bercerai, apa masalahnya?”

“Kita berbeda keyakinan, aku tidak tahan lagi.”

“Loh bukannya kalian seagama, sama-sama Katolik?”

“Memang…”

“Lantas kenapa sampai bercerai karena perbedaan keyakinan?”

“Selama ini aku selalu yakin bahwa aku ini ganteng, tapi Tina tidak bisa menerima keyakinanku itu, bahkan selalu mempermasalahkannya.”

Walaupun cerita itu sepele, tidak dapat dimungkiri, akhir-akhir ini ancaman perpecahan di dalam komunitas-komunitas, yaitu perpecahan karena emosi sentimen ras, suku, bangsa, dan agama telah menjadi seremeh cerita beda keyakinan di atas.

Ketika pertumbuhan Gereja di beberapa denominasi Kristen telah menjadi seperti kios di pinggir jalan negara di Flores, kita tidak melihat itu sebagai bagian yang patut disyukuri dari semakin terbukanya Gereja terhadap pluralisme dan kemajemukan.

Kita justru melihatnya sebagai keadaan semakin mustahilnya persatuan antar Gereja-gereja Kristus.

Di pulau tertentu, gereja-gereja itu bahkan diberi nama marga, sehingga jemaat yang bukan anggota marga akan merasa bukan anggota gereja.

Kita berharap agar di Flores tidak akan ada gereja atas nama kelompok arisan atau kelompok minat tertentu.

Kita haruslah tetap menjadi Gereja Kristus yang satu, kudus, dan aposolik.

Paus Fransiskus dan Patriark Kirill

Tahun 2016 silam, Paus Fransiskus bertemu Pemimpin Gereja Ortodoks Rusia: Patriarch Kirill. Mereka bersalaman untuk pertama kali, sejak pemisahan Gereja Barat dan Timur pada abad ke-11. Pertemuan itu meretasharapan akan pendirian kembali persatuan yang dikehendaki Tuhan.

Namun, sejak invasi Rusia terhadap Ukraina tiga 24 Februari 2022 lalu – sebuah invasi brutal yang menurut istilah Franz Magnis-Suseno dalam opini Kompas 24 Mei 2022 disebut telah beralih ke level ‘perang tarik-tambang’, rasa-rasanya persatuan murid-murid Kristus menjadi ambyar.

Lebih buruk lagi invasi itu dikumandangkan sebagai kampanye perang suci oleh Pemimpin Gereja Ortodoks Rusia.

Gereja memberi landasan teologis-metafisis untuk sebuah tindakan yang pada hakikatnya bertentangan dengan ajaran Kristus. Itu sebabnya, Paus Fransiskus menilai Patriarch Kirill sebagai “puetra altar” Vladimir Putin.

Ketika istilah Perang Salib kembali dikumandangkan, dan ketika persatuan Gereja-gereja terasa mustahil, penilaian negatif, cemoohan, sindiran akan kasih sebagai pokok iman kristiani menjadi hal yang tidak mudah dibantah.

Gereja seakan kehilangan harapan untuk terus berada pada jalan yang benar yaitu untuk berbicara tentang kasih, mewartakan pertobatan, dan mewartakan Kabar Sukacita sampai ke ujung dunia.

Gereja seakan sekali lagi menghadapi cibiran dari orang Athena kepada Paulus ketika dia berdiri di atas Areopagus dan berkhotbah tentang kebangkitan Kristus, “Lain kali saja kami mendengar engkau berbicara tentang hal itu.” (Kis 17:32).

Contoh

Lalu apakah persatuan yang Tuhan Yesus doakan dalam Injil hari ini tidak lagi relevan?

Sungguh tidak masuk akal, jika kita memikirkan hal demikian. Tuhan dari alam semesta ini, pribadi yang menciptakan nitrogen dan pohon pinus.

Pribadi yang menciptakan galaksi-galaksi dan nada e-minor, –atau dalam bahasa Kitab Wahyu (22:12-20), alfa dan omega– mengasihi kita dengan cinta kasih yang radikal dan tanpa syarat.

  • Bagaimanakah kita merespons cinta-Nya itu?
  • Apakah cukup dengan melakukan secara berulang-ulang, pergi ke gereja, ikut doa rosario, tekun beribadat dan berdevosi, menyanyikan lagu-lagu pujian, lalu berusaha untuk tidak mengumpat dan bersumpah serapah, memelihara keharmonisan hidup bersama, menjauhi gosip dan cerita keburukan orang lain?

Solusi untuk mengatasi rasa puas, kelesuan rohani, dan status quo bukan dengan memenuhi daftar peraturan tentang hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan, melainkan dengan jatuh cinta kepada Tuhan secara radikal, seperti yang dipertontonkan martir Santo Stefanus yang kisahnya kita baca dalam Kis 7:55-66.

Jika persatuan antar Gereja terasa mustahil, kita bersatu dalam komitmen untuk:

  • menyuarakan keadilan;
  • mengakhiri kecurigaan;
  • mengurangi perselisihan-perselisihan yang irasional;
  • menjunjung tinggi asas saling menghormati;
  • saling menghargai, saling memberi apresiasi;
  • saling menguatkan;
  • saling meneguhkan;
  • mengakhiri primordialisme suku, ras, dan budaya;
  • menuntut keadilan dari para penguasa yang korup.

Hanya dengan praktik-praktik seperti itu, kita menjaga Gereja dari ancaman ambyar.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here