SEJARAH keselamatan dan penyebaran iman Katolik itu tersaji indah dalam format gambar-gambar. Dilukis menjadi sebuah ukiran yang indah pada sebuah dinding meja altar.
Ini berkisah tentang sejarah penyebaran iman di Tanah Meraban, Keuskupan Ketapang, Kalbar.
Sejarah iman itu diawali dengan datangnya seorang perantau bernama Sebam.
Belakangan ia dikenal dengan sebutan Kek Belobo karena berasal dari Majang (Iban) dan kemudian hidup bersama dalam pernikahan dengan Dewi yang kemudian dikenal dengan panggilan Nek Tinggi.
Pasutri ini kemudian tinggal di Segulang, Batang Torang, Kabupaten Sanggau, Kalbar.
Setelah menikah, mereka pergi mencari pekerjaan di Durian Sebatang. Dengan bekerja mencari getah jelitang, getah merah, rotan, dll.
Kemudian, mereka pindah dan menetap di Meraban, setelah mendapatkan cukup uang, dan membeli barang-barang tembaga, seperti gong, ketawak, dsb.
Menemui keluarga
Pergilah mereka -Seban dan Dewi- kepada keluarganya di Batang Torang. Kek Belobo ini mendatangi keluarga di Munggu Tampui (Pakeng).
Kek Belobo mengabarkan, di Kualan -khususnya Meraban- masih ada kawasan hutan masih luas dan subur, ikan dan babi juga masih banyak. Dengan kata lain, mata pencaharian masih mewah atau banyak.
Ke Kualan-Meraban
Akhirnya, tanggal 1 Januari 1955, berangkatlah Bapak Fransiskus Litan Djit, Agustinus Oyon, Hendrikus Akuh, Kondon, Soni dan Apeng ke Kualan (Meraban).
Mereka berangkat dari Sungai Munggu Tampui, terus ke Sungai Toyan, kemudian milir di Sungai Kapuas.
Mereka melewati Kampung Baru, menyusuri Sungai Dawak, lanjut ke Kuala Labai, kemudian menyusuri Sungai Mendaok, dan akhirnya sampailah mereka ke Kuala Kualan.
Karena arus Sungai Kualan sangat deras, serta perahu sebagai alat transportasi yang mereka pakai menggunakan dayung, mereka mengalami perjuangan yang sangat panjang untuk sampai di Meraban.
Perjalanan selama satu sepekan lamanya di atas air akhirnya sampai juga di Meraban. Tempat yang dituju adalah rumah Kek Belobo yang terletak di Padukuhan yang bernama Londah.
Bapak Fransiskus Li Tan Djit dan Bapak Agustinus Oyon sudah menganut tradisi iman Katolik yang kuat, sejak mereka di Batang Tarang.
Maka tidak mengherankan, ketika mereka mulai mengajak penduduk asli Meraban yang saat itu belum memeluk agama Katolik bersedian menerima Kristus.
Dua keluarga Katolik ini mulai mengajak orang-orang berkumpul belajar agama Katolik dan doa-doa yang dipakai sehari hari seperti Salam Maria, Bapa Kami, Aku Percaya, 10 Perintah Allah dan doa Tobat.
Setahun lamanya mereka hidup bersama di Padukuhan Kek Belobo. Lalu, mereka pindah ke Hulu Sungai Sekantak, karena mulai banyak orang tertarik belajar agama Katolik.
Karena itu, mereka lalu membuat bangunan kapel berukuran 5×6 meter terbuat dari kayu bulat, sementara atap dan dinding dari kulit kayu Emang. Sedangkan, lantai menggunakan papan.
Diwartakan
Di Kapel inilah iman akan Kristus mulai diwartakan. Bapak Agustinus Oyon dan Hendrikus mulai mengajari iman kristini dan pokok-pokok ajaran agama Katolik kepada penduduk setempat.
Selain mewartakan Kristu, mereka juga mengajarkan PBH (Pemberantasan Buta Huruf) dengan buku buku pelajaran agama Katolik dan buku pelajaran PBH yang mereka bawa dari Batang Torang.
Permukiman penduduk di Meraban kala itu ada senam KK (kepala keluarga) saja yang tinggal di rumah pondok Pak Juwe dan Jelang, Kek Tumpu dan Kek Botong.
Karena orang yang ingin mengenal iman kristiani dan minta dibaptis semakin bertambah banyak, maka didirikanlah sebuah kapel berukuran 6 x 12 meter.
Dilakukan secara swadaya oleh umat pada tahun 1958.
Pastor pertama yang pernah mengunjungi, melayani umat di Meraban adalah Pastor Eduard CP. Beliau sering hanya bisa berjalan kaki dari Sekadau melewati Loko-Balai Berkuak terus menuju Meraban sebanyak dua kali.
Pastor kedua yang melayani umat Meraban adalah Pastor Agus CP dari Sekadau. Hanya sebanyak dua kali saja, pastor ini bisa mengunjungi Meraban dari Sekadau. Juga hanya bisa berjalan kaki saja.
Yang ketiga Pastor Canisius CP. Beliau melayani Meraban dari Sepotong. Pada saat itulah Meraban mendapat bantuan lonceng untuk menara kapel yang diambil dari Sepotong.
Diambil dengan cara digotong sembari jalan kaki. Oleh Bapak Agustinus Oyon, Hendrikus, dan dibantu oleh Pak Bidan, Pak Gabeh dan Pak Sondan dari Pendaun.
Berat lonceng tersebut 50 kg. Padahal, jarak lokasi Meraban-Sepotong ada kurang lebih 98 km.
Pembangunan kapel diteruskan oleh pastor keempat yang mengunjungi Meraban yaitu Pastor Vitalis Frumau CP.
Beliau menambah sayap bangunan kapel tersebut kiri-kanan hingga berbentuk salib sehingga bisa menampung 200-300 orang/umat, dan menara untuk lonceng serta rumah penginapan pastor atau katekis.
Kemudian yang kelima Pastor Ben Vandam CP dan beliau sempat membangun panggung pemuda yang digunakan untuk acara-acara bersama.
Selama belum ada rumah penginapan tersebut, pastor-pastor yang datang melayani umat di Meraban selalu bermalam di rumah Bapak Fransiskus Litan Djit.
Dibantu katekis
Pastor Abel Kornelis Tinga CP sebagai pastor penutup (terakhir) sebagai misionaris dari Barat (Belanda) yang melayani dan membangun Stasi St. Yosef Meraban.
Lalu diteruskan oleh pastor-pastor diosesan yang dibantu oleh beberapa katekis.
Adapun katekis pertama yang pernah bertugas di Meraban adalah Bapak Yohanes Tukiman Hadi Susilo. Katekis kedua adalah Bapak Wilhelmus Enfen sampai Juni 1984.
Dan kemudian Bapak Y. Sito Maryono mulai Juli 1984 sampai 1 Mei 2014.
Pada tgl 25 Juli 2010, Meraban diangkat statusnya menjadi Pra Paroki dengan Pastor Pendamping: Romo Martinus Akomen, Romo Kamilus Kukuh Yulianto, Romo Yohanes Ari Purnomo.
Lalu dilanjutkan oleh Romo Yohanes Endi dan Romo Fransisco Eltara dan yang terakhir adalah penulis: Romo Mardianus Indra.
Adapun Prodiakon pertama adalah Markus Marsin, seorang tokoh desa saat itu dan tetap berkarya sampai akhir hidupnya.
Pada tanggal 9 September 2019, bertepatan dengan HUT Episkolpal Mgr Pius yang ke-7, Meraban diangkat menjadi Paroki yang ke-19 di Keuskupan Ketapang.
Pada saat itu, juga diangkatlah Romo Mardianus Indra sebagai Pastor Kepala Paroki pertama.
Dalam menjalan karya reksa pastoralnya, Pastor Paroki dibantu oleh Dewan Pastoral Paroki.
Sejak 25 Juli 2010, ketika Meraban menjadi Pra Paroki, Ketua DPP pertama adalah Evaristus Rusdi; yang kedua adalah Fransiskus Muliaki; yang ketiga: Laurentius Kiang.
Pada masa Pak Laurentius Kiang, terjadi peralihan dari Praparoki menjadi Paroki, maka Ketua DPP pertama sejak Meraban menjadi paroki adalah Bapak Laurentius Kiang. Yang kedua: Hardianus Afa hingga sampai saat ini (2022).
Setelah menjadi Paroki, perkembangan umat sangat signifikan, berdasarkan pendataan umat yang dilakukan oleh mahasiswa dan dilanjutkan oleh paroki, pada tahun ini jumlah umat mencapi 3.455 jiwa dengan enam stasi yaitu:
- Stasi Meraban (pusat dengan 10 kring);
- Stasi Santa Elisabet Lelayang;
- Stasi Santo Paulus Selimbung;
- Stasi Santo Antonius Mungguk Naning;
- Stasi Santa Lusia Sekucing.
Melihat kembali ke sejarah, bahwa semestinya Dayak Mali hendaknya menjadi ujung tombak dalam pewartaan dan pengembangan Gereja.
Dana sebagai penduduk lokal khas asli Dayak Kualan yang telah menerima kabar gembira ini bersikap seperti Maria.
Jadi selalu setia, teguh, dan percaya akan kehendak Allah.
Sebagai umat Katolik tidak lagi dipandang suku pendatang maupun yang asli, semua mesti bahu membahu, tolong menolong sebagai sebuah paroki.
Karena seyogyanya paroki adalah “Rumah Belas Kasih”.
Demikian refleksi saya sebagai Pastor Gereja Santo Yosef Paroki Meraban.
Sebagai penutup, saya hanya mengajak saudara saudari untuk bersikap seperti Santo Yosef yang patung kayunya terbuat dari belian, menjadi umat yang tangguh, setia dan beriman.
Tetap bekerja tanpa melupakan doa, tetap berdoa untuk yang kita kerjakan.
Meraban, 24 Februari 2022
Persiapan peresmian dan pemberkatan Gereja.