[media-credit name=”google” align=”aligncenter” width=”500″]
Echart Tolle, dalam buku “The Power of Now” menulis dengan begitu indah: Mengidentikkan diri dengan pikiran berarti Anda terjebak dalam lorong waktu……Waktu sama sekali tidak berharga, karena waktu hanyalah ilusi belaka.
Apa yang Anda rasakan sebagai berharga bukanlah waktu, tetapi satu titik di luar waktu: Saat Sekarang. Itu yang memang sangat berharga. Semakin Anda terfokus pada waktu – masa lalu atau masa depan – semakin Anda kehilangan Saat Sekarang, yaitu hal yang paling berharga. (Hal. 43).
Hidup itu sekarang, bukan kemarin, bukan besok. Tolle menulis, masa lalu adalah masa sekarang yang sudah berlalu. Masa depan adalah masa sekarang yang belum terwujud.
Intinya, tetap masa sekaranglah yang kongkret. Masa lalu dan masa depan adalah ilusi. Jadi kalau kita hidup pada masa sekarang dengan penuh kehadiran, maka kita akan memiliki masa lalu yang membahagiakan, begitu juga kita akan memiliki masa depan yang cerah.
Terjebak pada masa depan, hanya akan menguras porsi kebahagiaan kita. Sebab kita akan dikepung oleh kekawatiran, kecemasan, ketakutan, ketergesaan dan perasaan “belum selesai”.
Sementara terjebak pada masa lalu, hanya akan membuat senyum kita menjadi kepedihan tiada-tara, karena penyesalan, keluh-kesah, penghukuman diri dan segala perasaan “ketidakberdayaan”.
Yesus, dengan begitu indah menasehati murid-muridnya untuk hidup di saat sekarang, sehingga mengusir pergi kekawatiran, kepedihan, dan yang tersisa adalah kebahagiaan.
“Janganlah kuatir akan hidupmu, akan yang hendak kamu makan, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai.
Sebab hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian. Perhatikanlah burung-burung gagak yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mempunyai gudang atau lumbung, namun demikian diberi makanan oleh Allah….
Siapakah diantara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta pada jalan hidupnya?…Perhatikanlah bunga bakung, yang tidak memintal dan tidak menenun, namun Aku berkata kepadamu: Salomo dalam segala kemegahannya pun tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga itu.
Jadi jika rumput di ladang, yang hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api demikian didandani Allah, terlebih lagi kamu….(Lukas 12:22-33).
Dalam perspektif lain, Yesus mengatakan: Janganlah kamu kuatir akan hari esok, karena hari esok memiliki kesusahannya sendiri (Matius 6:34). Begitu juga dalam Lukas 9:62 ditulis: Setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah.
Dalam berbagai tradisi keagamaan, “saat sekarang” juga menjadi rahasia mencapai puncak kebahagiaan yang seringkali terlewat dari penafsiran. Dalam pengertian Zen, penderitaan tidak bisa tumbuh ketika kita berada pada “saat sekarang”. Penderitaan membutuhkan waktu untuk bertunas dan berbuah. Penderitaan tidak dapat bertahan hidup dalam “saat sekarang”. (Tolle, hal. 47).
Begitu juga dalam sufisme, cabang aliran mistik dalam Islam, mereka memiliki peribahasa, “Sufi adalah putra-putri saat sekarang”. Dan Rumi, seorang penyair besar dan guru sufi mengatakan: Masa lalu dan masa depan menyelubungi Tuhan dari pandangan kami, bakarlah keduanya dengan api.
Sementara itu, Meister Echart, guru spiritual pada abad ke-13, meringkasnya dengan indah: Waktu menghalangi terang menjangkau kita. Tidak ada hambatan menuju Tuhan seperti waktu.
Orang-orang yang hidup “di masa sekarang” adalah orang-orang yang tercerahkan, yang bisa melihat dengan batinnya bagaimana pohon-pohon bermeditasi, bunga-bunga bernyanyi, rumput-rumput berdoa, burung-burung berdendang bahagia.
Orang-orang ini akan tetap tinggal di “dalam biasa”, bukan mencari hal-hal di “luar biasa”, sebab yang luar biasa ternyata ada di dalam yang biasa. Sehingga barangkali Anda akan mulai mendengar, nyanyian seekor burung kecil yang membangunkan Anda setiap pagi dan Anda akan tersenyum, sementara semilir keindahan berhembus di batin Anda.
Anthony de Mello, dalam bukunya “Sejenak Bijak” (1987), mengisahkan dialog seorang guru kebijaksanaan dengan muridnya yang sedang mencari pencerahan budi:
“Dimana harus kucari Terang Budi?”
“Di sini ini.”
“Kapan itu dapat kuperoleh?”
“Dapat kauperoleh sekarang ini.”
“Tetapi mengapa aku tidak merasakannya.”
“Karena engkau tidak melihat.”
“Aku harus melihat apa?”
“Bukan apa-apa. Hanya melihat.”
“Melihat sesuatu?”
“Apa-apa, yang nampak di matamu?”
“Apa aku harus melihat dengan cara khusus?”
“Tidak. Cara biasa sudah cukup.”
“Bukankah aku selalu melihat cara biasa.”
“Tidak.”
“Mengapa tidak?”
“Karena untuk melihat, engkau harus ada di tempat. Engkau biasa ada di tempat lain.”
(selesai)