[media-credit id=1 align=”aligncenter” width=”350″]
Ketika mata masih terpejam dan badan masih dibungkus selimut, kicauan burung itu menembus masuk telinga dan membangunkan jiwa lebih awal daripada membangunkan tubuh. Begitu lembut.
Satu Minggu pagi, ketika kesadaran sudah terjaga, sementara badan masih terlelap, saya kehilangan kicauan burung itu. Kemana gerangan? Kenapa dia tidak membangunkanku? Setelah membuka mata dan membuka jendela kamar, saya melihat ada sekelompok burung-burung kecil sedang bermain di atas rimbunan pohon, diantara cahaya pagi.
Oh, mungkin si burung kecil itu lupa membangunkanku karena asyik bermain dengan teman-temannya. Hem, bukankah sekarang hari Minggu? Mungkin si burung kecil ini ingin berlibur membangunkanku. Aku tersenyum dan semilir keindahan menghembus di batinku.
Lupa bahagia
Kecanggihan teknologi transportasi, membuat kita berjalan terlalu cepat sehingga melewatkan banyak hal. Kecanggihan teknologi komunikasi, membuat kita terlalu banyak bicara, tapi lupa tersenyum. Kapitalisme membuat banyak orang menjadi kaya, tapi lupa bahagia.
Kita mencari bukan apa yang kita butuhkan, tapi apa yang kita inginkan. Akhirnya yang kita dapatkan adalah kata “puas” bukan “cukup”. Kita “cukup” makan tiga piring sehari karena perut terbatas, selebihnya kita bisa berbagi. Tapi, kita tidak “puas” hanya makan tahu tempe. “Cukup” tidak mengenal “lebih”, “puas” selalu “lebih”. Karena itulah, banyak orang mengejar “cukup kekayaan”, bukannya “kaya kecukupan”.
Setiap hari kita merasa kekurangan waktu untuk mengerjakan hal-hal yang belum selesai, padahal waktu tidak pernah bertambah atau berkurang. Akhir dari hari-hari kita adalah perasaan “belum selesai”, karenanya kita selalu merasa tertunda dan dikejar target. Kita tidak pernah “rest in peace” kecuali ketika mati.
Kita terlalu banyak tahu, tapi tidak tahu banyak, sehingga kita menjadi orang-orang pandai yang tidak memiliki kebijaksanaan. Akibatnya, semakin menjadi tua, kita merasa semakin menjadi kanak-kanak kembali.
Kita berpikir hal-hal besar, tapi lupa melakukan hal-hal kecil. Atau sebaliknya, kita meributkan hal-hal kecil dan melepaskan hal-hal besar. Lalu, kita hanya berjalan di tempat dan ternyata tidak pergi kemana-mana. Kita mempunyai banyak hal, tapi tidak memiliki satu halpun.
Hari-hari kita dipenuhi dengan kebingungan, tapi kita sembunyikan dengan kesibukan, seakan-akan kesibukan adalah obat penawar racun kehampaan. Kita terlempar pada kecemasan, atau terdampar pada penyesalan yang tiada akhir. Hidup kita penuh kepedihan.
Akhirnya setelah semua berjalan, dan teman-teman kita meninggal, kita baru menyadari ternyata sepanjang hidup, kita tidak pernah melakukan hal-hal yang penting. Kita ternyata hanya melakukan hal-hal yang mendesak, yang tidak penting, sehingga nyanyian seekor burung di pagi haripun, lewat dari kesadaran kita.