Sebenarnya manusia tidak memiliki apa-apa. Bukankah saat lahir, manusia lahir dalam keadaan telanjang? Artinya tidak membawa apa-apa ke dalam dunia ini. Karena itu, apa yang dimiliki itu mesti diberikan kepada orang lain dengan setulus hati.
Ada seorang anak berusia empat tahun yang suka membagi bekalnya untuk teman-temannya di Play Group. Meski tidak diminta oleh teman-temannya, ia mengulurkan tangannya yang penuh dengan makanan. Ia mau berbagai dengan mereka. Ia ingin apa yang dimiliki menjadi bagian dari teman-temannya.
Saat ditanya oleh gurunya, ia berkata bahwa ia suka memberi saja. Ia tidak ingin apa yang dimilikinya hanya untuk dirinya sendiri.
Ia berkata, “Saya mau beri saja. Tidak ada yang menyuruh.”
Kebiasaan memberi dengan hati yang tulus itu ia teruskan saat dia sekolah di Taman Kanak-kanak. Kerelaannya untuk memberi itu membuat teman-temannya menyukai dirinya. Mereka mau bergaul dengan dia. Tidak ada rasa enggap untuk bermain bersama dengan dia. Ia pun bersyukur punya teman yang banyak.
Tidak Gampang Memberi, Mengapa?
Memberi dengan setulus hati tidak gampang dilakukan oleh manusia zaman sekarang. Lebih baik orang memenuhi dirinya dengan berbagai kebutuhan hidup terlebih dahulu. Sisanya baru diberikan kepada orang lain. Prinsipnya adalah saya dulu, baru orang lain.
Kisah di atas memberi kita inspirasi untuk memberi dengan setulus hati. Ketika orang memberi dengan setulus hati, orang akan menerimanya kembali dengan berlipat-lipat. Tentu saja bukan menerima dalam bentuk materi. Tetapi relasi yang baik akan diperoleh dalam hidup sehari-hari.
Sebenarnya orang dapat memberi dengan setulus hati, kalau orang menyadari bahwa apa yang dimilikinya itu diterima dengan cuma-cuma dari Tuhan. Andaikan Tuhan tidak memberi apa-apa kepada manusia, bagaimana manusia bisa hidup? Bagaimana bisa melakukan hal-hal yang baik dan benar dalam hidup ini?
Tuhan telah memberi manusia berbagai hal untuk kebutuhan hidup manusia, karena Tuhan ingin manusia hidup bahagia. Berbagai kebutuhan itu bukan hanya untuk milik diri seseorang saja. Tetapi apa yang dimiliki itu juga menjadi milik bersama. Artinya, orang mesti berani berbagi saat memiliki harta kekayaan yang melimpah. Kalau tidak berani berbagi dengan yang berkekurangan, apa yang ada akan diambil kembali oleh Tuhan.
Seorang bijaksana berkata, “Hendaklah masing-masing memberi menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan. Sebab Tuhan mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.”
Orang beriman mesti memberi dengan sukacita dan tanpa paksaan. Orang beriman memberi dengan cara demikian sebagai ungkapan syukur atas kasih dan kebaikan Tuhan. Tuhan tidak bisa kita lihat dengan mata, maka kita membalas kasih Tuhan itu dengan memberi kepada sesama. Mari kita memberi dengan sukacita. Dengan demikian, hidup ini menjadi kesempatan untuk membahagiakan diri dan sesama. Tuhan memberkati. **
Frans de Sales SCJ, Tabloid KOMUNIO dan Majalah FIAT
Palembang – (masih) Kota Asap
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)