DALAM rangka Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2018, penulis bersama Mbak Floren –cerpenis dari Yogyakarta- didapuk mengisi program siaran di Radio Republik Indonesia (RRI) Pro-4 dalam program siaran Sahabat Budaya, pukul 20.00-21.00 WIB.
Topiknya adalah “Seni Dalam Menulis”. Tema ini cukup menantang, karena penulis belum punya pengalaman banyak dalam menulis. Namun karena sekedar syering, maka penulis tidak mau sia-siakan waktu dan kesempatan tersebut.
“Menulis itu gampang-gampang susah,” demikian ungkapan spontan Mbak Floren, saat berbincang di luar studio.
Dulu ia mengaku tidak suka menulis. Ketertarikan menulis justru berawal dari sebuah diary di bangku SMA. Penyanyi berbakat ini bercerita, menulis itu menyembuhkan kegelisahan. “Apa yang sedang terjadi di dalam diri lalu dituangkan lewat sebuah tulisan. Menulis itu sebuah seni dan punya nilai estetika unik di antara seni yang lain,” pungkas penikmat nasi goreng ini dengan nada gembira.
Misi menulis
Mbak Agatha Erna, penyiar Pro-4 RRI Yogyakarta, sangat senang kehadiran dua nara sumber yang mau berbagai dengannya. Menurut Mbak Erna, berbagi pengalaman penulis kepada pendengar tidak mudah, karena mereka harus jujur mengungkapkan suka-dukanya menulis.
Pastinya setiap orang punya misi dan urgensi menulis di tengah persaingan pelbagai media saat ini. Di sini kami berbagi, menulis itu punya misi tersendiri dan tujuan.
Mbak Floren yang sudah lama berkecimpung dalam fiksi senang berfokus pada pembaca remaja SMP ke bawah. Pilihan kata-kata (diksi) harus diperhatikan agar cocok dengan cakupan pengetahuan anak-anak remaja zaman now.
Ia mempunyai misi cukup liar dengan fantasi-fantasi kehidupan sosial yang terjadi di lingkungan remaja. Persoaan yang diangkat beragam di antaranya relasi sosial, keluarga, sahabat, dan lain sebagainya.
Tentu saja gagasan imajiner itu tidak terlepas dari nilai-nilai satra dalam menulis sambil melirik kearifan lokal sebagai pemicu pembaca untuk tenggelam dalam tulisanya.
Dalam sehari, ia bisa menghasilkan tiga tulisan setebal 600-800 kata, ketika konsetrasinya penuh dengan topik yang dideskripsikan.
Sebenarnya apa misi menulis itu?
Lontaran pertanyaan dari penyiar akhirnya membawa kami jujur menyatakan, menulis adalah satu dari sekian banyak cara untuk berbagi ruang kepada para pembaca.
Pertama-tama bagaimana seni dalam menuangkan ide, gagasan dan merangkai kata-demi kata menjadi sebuah kalimat itu seperti kita sedang melukis isi hati sendiri. Maka misinya adalah bagaimana menyuarakan suara-suara yang tidak muncul di masyarakat yang sering kali menjadi korban kebijakan penguasa dalam masyarakat.
Dari sini kita berefleksi tujuan saya menulis untuk apa? Apa sekedar berbagi informasi? Apakah hanya kata-kata kosong? Apakah saya berkreasi seni dari seni berkata-kata sekedar menghipnosis orang. Kalau tidak jelas misi menulis, maka bobot dan mutu menulis itu perlu dipertanyakan kepada penulis sendiri.
Nilai-nilai menulis
Dalam perbincangan yang disiarkan Pro-4 RRI Yogyakarta, kami berdua sepakat bahwa dalam progam siaran Sahabat Budaya itu kita membudayakan menulis dalam ruang dan material kajian seni dalam menulis.
Ada empat aspek yang kami garis bawahi yaitu:
- Menulis mengandung nilai kognitif yaitu wawasan yang kita tuangkan menjadi pengetahuan bagi penulis dan pembaca agar bisa memicu dalam berpikir secara kritis tentang realita atau fenomena kehidupan di sekitar kita tiap hari.
- Aspek afeksi (hati). Menulis itu suara dari hati, asalkan bukan hoaks. Kejujuran hati yang menjadi daya kekuatan dalam menulis menjadikan tulisan itu semakin berbobot. Hati berbicara lebih bermutu dari pada sekedar merangkai ide liar yang tidak pada tempatnya.
- Aspek psikomotorik. Ketika kita menulis, setidaknya pembaca ada reaksi dan reaktif untuk bergerak dan menjadi inspirasi untuk bersolider dengan situasi yang ditulis oleh penulis. Nilai-nilai sosial tergantung pada pengolahan pembaca dari kata-kata yang dituang oleh penulis dalam sebuah narasi.
- Aspek ini ada pada wilayah yang paling mendalam. Gerakan yang membuat orang semangat karena ada ‘Roh’ dari Sang Sumber Pengetahuan di mana menggerakan penulis untuk mewartakan kebenaran hidup melalui menulis.
“Menyuarakan suara yang tertindas jauh lebih berharga dari pada memuji sosok orang yang mengelabui masyarakat,” ungkap Mbak Floren yang sudah menelurkan 200 episod drama radio ini.
Di akhir siaran, para staf Pro-4 RRI Yogyakarta tetap berharap agar ke depanya tetap kembali ikut membantu dalam program Sahabat Budaya dengan tema-tema yang fenomenal.