MEMBERI, itulah sukacita ilahi. Hidup tidak hanya mempunyai sebuah tujuan atau misi, tetapi hidup itu sendiri adalah sebuah misi.
Setiap dari kita telah diberi berkat. Berkat akan berlimpah, bila kita berani keluar dari diri sendiri dan menjumpai “to the needy”.
Dalam perjumpaan, gerak hati dan kebaikan menjadi tersalurkan seperti air yang mengalir ke tempat yang lebih rendah.
Memberi juga merupakan sebuah tindak Ilahi, meringankan hati, membersihkan jiwa, dari hal-hal yang mungkin bisa menjadi penghalang kehidupan.
Memberi tanpa pamrih adalah kelegaan dan keindahan jiwa.
Sukacita memberi dapat menjadi kebaharuan terus-menerus yang memberikan ruang dalam hati untuk lebih mendengar Sabda-Nya, terutama bagi mereka di mana Tuhan sendiri ingin disamakan.
Masih adakah ruang pribadi dalam hati yang belum dipenuhi oleh hiburan dan kesukaan sesaat untuk mendengar sabda-Nya?
Bacaan diambil dari Kis 6: 1-15; Yoh. 6: 1-15.
Ketidakpuasan batin
Sesaat berkunjung ke satu keluarga terkesan mereka telah menerima berkat dari Bapa surgawi.
“Mo, kapan ke stasi?”
Stasi adalah himpunan orang-orang Katolik yang tempat tinggal jauh dari gereja. Bisa karena mereka turun-temurun berdiam di sana atau daerah baru di mana komunitas Katolik muncul karena perpindahan orang Katolik atau baptisan baru di tempat itu.
“Minggu depan, ada apakah? Mau ikut?”
“Saya ingin berbagi.”
Sebuah pernyataan yang muncul begitu saja, tanpa beban.
“Bagaimana kehidupan mereka Mo?”
“Pekerjaan mereka bercocok tanam di ladang; jauh dari keramaian kota dan jarang pergi bahkan ke kota kecamatan. PLN belum masuk. Mereka rata-rata mandi di sungai. Dan membawa air dari sungai untuk kebutuhan rumah tangga. Kalau Sekolah Minggu itu ada sekitar 50 anak. Dari TK samapai kelas IX. Ada 6 orang berumur senja dan hanya duduk di depan rumah. Pelintas selalu menyapa mereka.”
Trenyuh
Kunjungan bersama dia dan beberapa orang membuat dia tersentuh, sedih dan haru. Air mata sedikit menetes.
Ia ingat keadaan d rumahnya. Ada banyak makanan yang tak termakan dan dibuang, jamuran atau expired. Lauk pun disingkirkan, tak tersentuh, dibuang ke tong sampah.
Rasa haru muncul dan kebaikan mengalir tanpa hitung-hitungan.
Mereka sepakat membuat tim pendukung misi “kebutuhan” bayi dan anak-anak dan lansia.
“Saya tetap menjaga agar umat tidak begitu mengharapkan bila saya datang dan tidak membawa apa-apa.”
Waktu terus berjalan. Keluarga ini dam timnya sebulan sekali pasti menitipkan sesuatu untuk anak-anak di sana dan lansia. Atau barang-barang yang meteka perlukan.
Sebuah keputusan tepat dari hati terberkati.
Yang akhirnya saya tahu, mereka kemudian mendidik anak-anaknya untuk tidak gampang membuang makanan.
Ambilah yang kamu makan. Habiskanlah.
Berkat perjumpaan “keterbatasan dan kekurangan” orang lain, mereka mensyukuri apa yang mereka terima. Mereka dimampukan melihat dengan cermin iman: terbuka untuk berbagi.
Mereka gembira mendengar kisah-kisah terutama yang menggerakkan hati untuk berbagi. Apa pun.
Sepatu, buku-buku tulis; kecap bungkusan dan abon adalah sesuatu yang selalu kubawa. Kadang tim menyertakan salah satu anaknya, seorang dokter, untuk mengecek kesehatan dan memberi obat.
Saya tidak pusing. Tim menanggung semua masalah kesehatan dan gizi anak-anak di stasi.
Misi dan pengutusan yang dipercayakan kepadaku menjadi indah. Mereka menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk memudahkan mewartakan Kabar Baik.
Tuhan sungguh baik. Ia menggerakkan dan melibatkan orang-orang untuk mengambil bagian dalam pengutusan Yesus.
Kata Yesus, “Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?”.
Tuhan, terimakasih Engkau menggembirakan hati orang yang berbagi. Amin.
?