Renungan Harian
Sabtu, 21 Mei 2022
Bacaan I: Kis. 16: 1-10
Injil: Yoh. 15: 18-21
DALAM sebuah pertemuan, saya bertemu dengan seorang anak muda yang oleh seorang bapak diperkenalkan sebagai pemuda penggerak. Bapak itu menjelaskan bahwa anak muda itu telah menggerakkan teman-teman di desanya untuk berani bertani.
Anak muda itu membuat kelompok tani anak-anak muda di desanya sehingga memberikan peningkatan pendapatan dan peningkatan ekonomi untuk teman-teman di desanya.
Bapak itu juga menunjukkan foto-foto kegiatan anak-anak muda di desa yang digalang oleh anak muda itu.
“Romo, saya tidak sehebat cerita bapak itu. Saya masih sebatas berteman dengan teman-teman di desa. Kalau boleh saya menyebut keberhasilan saya, bukan karena meningkatkan pendapatan dan ekonomi seperti cerita bapak itu, tetapi saya sudah diterima sebagai teman dan bagian dari teman-teman di desa.
Romo, karena situasi maka banyak teman-teman saya yang tidak seberuntung saya dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Umumnya mereka lulus sekolah pertama dan beberapa bisa menyelesaikan sekolah menengah atas. Setelah mereka lulus sebagaimana banyak orang muda di desa kami, merantau ke kota dan menjadi buruh pabrik atau buruh serabutan di kota.
Namun karena kerasnya persaingan di kota banyak yang kemudian kembali ke desa, sementara di desa tidak menyediakan lapangan pekerjaan, jadilah mereka pengangguran.
Sesungguhnya kalau mereka mau bisa menggarap lahan pertanian yang masih cukup luas di desa kami, tetapi karena dari pertanian tidak menjanjikan, maka mereka juga tidak mau.
Namanya juga pengangguran jadi mereka melakukan apa saja yang mereka mau. Tidak jarang mereka melakukan hal-hal yang kurang baik, seperti judi atau mabuk.
Saat saya kembali ke desa dan ikut kumpul dengan mereka, mereka tidak begitu suka. Mereka dengan halus menolak saya, karena saya dianggap mengganggu.
Sebetulnya saya tidak mengganggu dan tidak mengusik mereka, tetapi karena saya tidak mau minum dan tidak mau diajak berjudi jadi saya dianggap mengganggu.
Saya pulang ke desa memang ingin menggarap lahan pertanian bapak yang cukup luas. Sayang lahan itu tidak digarap dengan maksimal karena bapak sudah mulai tua dan mereka yang “maro” (buruh tani) tidak menghasilkan panen yang baik.
Dengan bekal ilmu dan praktik waktu sekolah, saya mulai menggarap tanah orangtua. Saya mulai menawari pekerjaan pada teman-teman untuk menggarap lahan bapak, mereka menolak dan bahkan mengejek.
Saya tidak pernah putus asa mengajak mereka. Awalnya, ada dua orang yang mau untuk ikut jadi petani, dua teman saya itu menggarap lahan orangtua mereka sendiri.
Maka kami bertiga mulai dengan merencanakan bersama itulah cikal bakal kelompok tani kami. Anehnya dua orang teman saya ini juga mulai dijauhi teman-teman lain. Tetapi kami tetap pada pendirian untuk berjuang.
Syukur pada Allah kami bisa panen dengan baik dan lewat seorang kenalan kami dapat menjual hasil panenan kami dengan harga yang lebih baik. Kami bisa bebas dari para tengkulak dan para “bandar ijon” (memberi modal atau membeli saat masih mulai tanam).
Syukurlah romo, berkat keberhasilan kami bertiga teman-teman kami mulai mau ikut bersama-sama menggarap lahan pertanian. Mereka ada yang menggarap lahan oran tuanya atau kami sengaja menyewa lahan untuk kelompok tani.
Jadi ya sederhana romo bukan luar biasa. Memang kesulitan awal adalah kami ini dilihat berbeda sehingga kami dijauhi dan agak dibenci,” anak muda itu berkisah saat bertemu berdua dengan saya.
Kisah anak muda yang luar biasa, yang bagi saya memberi inspirasi luar biasa bagaimana menebar kebaikan meski awalnya ditolak dan dibenci karena kebaikannya mengganggu kenyamanan teman-temannya.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Yohanes: “Sekiranya kamu dari dunia, tentulah dunia mengasihi kamu sebagai miliknya. Tetapi karena kamu bukan dari dunia, maka dunia membenci kamu.”