Kamis, 10 Juni 2021
Bacaan I : 2Kor 3:15-4:1.3-6
Injil : Matius 5:20-26
“JALAN panjang ini harus saya tempuh untuk bisa berdamai dengan saudaraku,” kata seorang bapak menahan rasa haru.
“Kami tinggal satu kota. Tetapi sudah 15 tahun kami tidak saling sapa, apalagi saling mengunjungi,” katanya melanjutkan kisahnya.
“Semua orang di kampung ini pasti sudah tahu masalahku dengan kakakku. Kami pernah bertengkar hebat, bahkan ingin saling membunuh,” paparnya dengan sedih.
“Semua keributan itu dipicu soal pembagian warisan yang menurutku tidak adil,” katanya.
“Saya menuduh bapak tidak bersikap adil, karena bisikan kakak sulungku dan demi kepentingan kakakku,” kisahnya
“Dari situlah kami berseteru dan puncaknya kami bertengkar hebat, ketika sertifikat yang sudah dibagi saya bakar semuanya,” lanjutnya.
“Sejak peristiwa itu, saya pergi meninggalkan rumah dan keluarga semuanya. Saya memutuskan tidak mau menerima warisan,” katanya.
“Saya benar-benar terluka dan pasti melukai hati kakakku, juga orangtuaku,” tuturnya dengan sedih.
“Hingga suatu saat ketika saya sakit keras, muncul kerinduan yang sangat dalam untuk bertemu orangtua dan kakakku,” katanya.
“Dengan niat yang baik, setelah sembuh saya pulang ke rumah dan menjumpai orangtua, lalu ke rumah kakakku,” kisahnya.
“Kegetiran, amarah, rasa bersalah dan kerinduan yang selama ini menyelimuti hati saya, seakan terangkat dari diriku saat orangtua dan kakak memelukku, menerimaku kembali sebagai anak dan saudara,” katanya.
Berdamai dengan orangtua dan saudara adalah langkah pertama untuk menghayati hidup keagamaan.
Jika dengan orang terdekat saja kita belum mampu berdamai, bagaimana mungkin kita bisa berdamai dengan sesama?
Jika dengan saudara dan sesama saja yang kelihatan dan bisa bertatap muka langsung kita belum mampu berdamai, bagaimana kita bisa berdamai dengan Tuhan yang tidak kelihatan?
Bagaimana hidup keagamaanku bisa bertumbuh dengan lebih baik?