Renungan Harian
Sabtu, 10 April 2021
Bacaan I: Kis. 4: 13-21
Injil: Mrk. 16: 9-15
BEBERAPA tahun yang lalu saya kedatangan tamu seorang ibu.
Ibu itu minta agar diizinkan untuk memberi kesaksian, pada saat perayaan ekaristi hari Minggu.
Ibu itu mau memberi kesaksian tentang pengalamannya mendapatkan penampakan Bunda Maria dan akan menyampaikan pesan bunda Maria kepada seluruh umat.
Ibu itu merasa diri telah diutus Bunda Maria agar menemui saya yang disebut puteranya yang terkasih.
Masih menurut ibu itu, sesuai pesan Bunda Maria, saya pasti akan membantu.
Saya keberatan dan saya tidak mengizinkan ibu itu untuk memberi kesaksian dalam perayaan ekaristi. Dan juga saya meminta agar pengalamannya tidak disebarkan di antara umat, secara khusus umat di paroki saya.
“Ibu, saya ikut bersyukur bahwa ibu mendapatkan pengalaman penampakan Bunda Maria. Namun demikian hendaknya ibu endapkan dan ibu olah terlebih dahulu jangan cepat-cepat disebarkan.
Penting untuk dicek, benarkah itu penampakan Bunda Maria? Karena setan juga bisa berpura-pura menjadi sesuatu yang baik. Dicek juga apakah itu sungguh-sungguh penampakan atau halusinasi atau ilusi,” saya menjelaskan alasan saya.
Ibu itu menjadi marah.
“Romo, itu menghalang-halangi rahmat yang disampaikan melalui saya. Romo tidak punya iman dan penuh dosa sehingga tidak bisa menangkap dan mengerti mukjizat yang saya alami.
Apalagi saya harus mengecek apakah benar Bunda Maria atau roh jahat itu melecehkan Bunda Maria.
Romo telah menjadi orang terkutuk karena tidak mempercayai penampakan Bunda Maria yang saya alami.
Romo, saya melihat dan mengalami sendiri, jadi tidak ada yang bisa melarang saya. Saya tetap akan menyebarkan bahwa saya telah dipilih untuk menyampaikan pesan Bunda Maria melalui penampakan kepada saya,” ibu itu ngomel dengan penuh emosi.
“Ibu mau menyebarkan silahkan, tetapi tidak di paroki saya.”
“Dengan ibu marah-marah dan mengutuk, saya menjadi yakin bahwa ada sesuatu yang salah dengan pengalaman penampakan itu.
Kalau benar ibu mengalami penampakan Bunda Maria, pasti punya dampak terhadap kehidupan pribadi ibu.”
“Ibu menjadi lebih rendah hati, lebih damai dan lebih welas asih kepada siapa pun. Dan lagi, tadi ibu mengatakan bahwa Bunda Maria menyebut saya sebagai putranya yang terkasih, sekarang ibu mengutuk saya,” jawab saya.
Ibu itu semakin marah dengan mengeluarkan sumpah serapah lalu pergi.
Sebuah pengalaman, artinya seseorang merasakan, mendengar, melihat dan mengalami sendiri sudah pasti tidak akan bisa diambil dari dirinya.
Bahkan dalam tekanan pun pengalaman itu tidak bisa dihilangkan.
Pengalaman rohani, pengalaman perjumpaan dengan Allah adalah pengalaman yang amat berharga bagi setiap orang beriman. Namun demikian seseorang perlu bijak menyikapi setiap pengalaman rohaninya.
Perlu untuk didiskresikan dan direfleksikan terlebih dahulu jangan mudah untuk segera dibagikan atau disebarkan.
Salah satu hal penting dan mendasar adalah kalau benar itu pengalaman perjumpaan dengan Tuhan atau orang-orang kudus, pasti menghasilkan dampak yang positif bagi dirinya dan orang lain.
Kalau tidak ada dampak positifnya pantas untuk diragukan.
Sebagaimana pengalaman para murid sejauh diwartakan dalam Kisah Para Rasul, para murid tidak dapat dibendung walau diancam sekalipun untuk mewartakan pengalaman akan Yesus.
Dan yang paling penting adalah pengalaman akan Yesus yang diwartakan berdampak positif bagi orang-orang yang mendengarnya.
“Mana yang benar di hadapan Allah: taat kepada kamu atau taat kepada Allah. Sebab tidak mungkin bagi kami untuk tidak berkata-kata tentang apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar.”
Bagaimana dengan aku?
Adakah kemampuanku untuk berdiskresi dan berefleksi?