Renungan Harian
Rabu, 29 September 2021
Pesta St. Mikael, Gabriel dan Rafael, Malaikat Agung
Bacaan I: Dan. 7: 9-10. 13-14
Injil: Yoh. 1: 47-51
“KAMI sudah berpacaran hampir tujuh tahun. Kami teman satu sekolah, dan kami berdua aktif dalam kegiatan sekolah.
Lewat berbagai kegiatan sekolah itulah kami sering bertemu dan saling jatuh cinta, sehingga saat kelas 3 SMA kami mulai berpacaran.
Selama kami berpacaran hubungan kami amat baik, mesra dan hampir tidak ada masalah berarti.
Dengan berjalannya waktu kami semakin dekat, dan bukan hanya kami saja, kedua keluarga kami juga sudah dekat.
Saya sudah diterima di keluarga cewek saya, dan dia juga sudah diterima dan dekat dengan keluarga saya. Bahkan keluarga kami sering ada acara bersama yang semakin mendekatkan kami dan antar keluarga.
Maka tidak mengherankan kalau keluarga sering mendesak kami untuk segera meresmikan hubungan kami dalam pernikahan. Karena desakan keluarga; secara ekonomi kami sudah siap dan hubungan kami juga sudah cukup lama, maka kami memutuskan untuk meresmikan hubungan kami.
Keluarga kami amat bahagia mendengar keputusan kami. Maka keluarga segera memutuskan tanggal pernikahan dan segala persiapan berkaitan dengan pesta dan pemberkatan perkawinan.
Kami amat bersyukur, karena keputusan kami dan rencana kami untuk menikah sangat didukung oleh keluarga.
Kami memutuskan untuk mengikuti kursus persiapan perkawinan sebagai salah satu syarat untuk dapat saling menerimakan Sakramen Perkawinan dan pemberkatan.
Pada saat ikut kursus, kami berdua sungguh-sungguh mengikuti semua tahapan dan tugas-tugas yang diberikan kepada kami. Kami diajak untuk saling membuka diri, sharing berdua dan mengolah tentang tujuan kami membangun hidup berkeluarga.
Dalam perjalanan kursus itu kami berdua terkejut, seolah-olah seperti yang dibangunkan dari mimpi. Ternyata selama ini banyak hal yang belum sungguh kami kenal dalam diri kami dan pasangan kami.
Ada banyak hal yang membuat kami berbeda pandangan, berbeda mimpi. Kami mencoba terus untuk menggali perbedaan itu, agar kami bisa saling menerima dan syukur-syukur menyelaraskan.
Namun ternyata amat sulit dan hampir tidak bisa.
Sampai pada suatu titik tertentu kami sungguh-sungguh menyadari bahwa kami bisa berteman dan bersahabat dengan baik, tetapi tidak bila itu dalam sebuah perkawinan.
Artinya kami cocok sebagai teman dan sahabat, tetapi tidak cocok sebagai suami isteri. Kami berdua amat sedih menyadari hal ini.
Akhirnya kami berdua memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan kami dalam pernikahan, tetapi kami tetap menjadi teman dan sahabat.
Lebih baik sekarang kami sakit sekali dari pada sepanjang hidup dalam perkawinan kami saling menyakiti,” pasangan calon pengantin mengisahkan pergulatannya untuk memutuskan membatalkan perkawinan.
Saya bisa merasakan betapa berat pergulatan mereka untuk berani jujur dan dengan jujur pula membuat sebuah keputusan.
Keputusan yang luar biasa dan amat tidak mudah. Namun dengan itu mereka berdua menemukan rahmat luar biasa dalam hidup mereka.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Yohanes, kejujuran Natanael membuahkan rahmat besar dalam hidupnya.
“Sesungguhnya engkau akan melihat langit terbuka, dan malaikat-malaikat Allah turun naik kepada Anak Manusia.”
Bagaimana dengan aku? Apakah aku berani jujur dengan diriku sendiri?