Berikan Harapan, agar Bunuh Diri Jangan Sampai Jadi Solusi Pintas

0
2,021 views
Ilustrasi - ist

MENGAPA harus bunuh diri, kalau di sekitar kita banyak teman atau saudara masih peduli? Pertanyaan ini layak mengemuka, ketika publik terhenyak membaca menyedihkan: seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran UI bernama Steven Wijaya (23) diduga tewas bunuh diri.

Kisah ini sangat menyentuh kemanusiaan kita, apalagi terbetik berita beberapa jam sebelum terjun bebas di sebuah apartemen di Salemba –tak jauh dari Fakultas Kedokteran UI—korban baru saja diwisuda sebagai sarjana medik. Bahkan, beberapa waktu sebelumnya, korban sempat juga bertemu dengan pacarnya. Polisi mengambil kesimpulan sementara, korban diduga bunuh diri karena sebelumnya detik nahas itu tidak ada orang lain yang berada bersama korban di ruang apartemennya.

Peristiwa bunuh diri –siapa pun pelakunya— memanglah insiden menyayat hati. Tidak saja karena peristiwa mengakhiri hidup terjadi oleh “kehendak spontan” manusia, namun juga karena seolah-olah dalam hidup ini sudah tidak ada lagi  harapan. Hidup menjadi buram, ketika harapan musna dari keseharian kita.

Melihat peristiwa ini dan belajar dari pengalaman iman Para Rasul, maka tidak ada lain kecuali tanpa henti “memandang” wajah Allah yang senantiasa memberi harapan. Ketika suasana serba hopeless melanda jiwa Para Rasul karena kematian Yesus, Allah memberi harapan baru dengan peristiwa kebangkitan.

Itu ternyata belum cukup. Meski sudah bangkit dari kematian, Para Murid tetap didera oleh ketidakyakinan bahwa Yesus sudah berhasil mengalahkan “maut” (baca: kematian). Harapan kembali dipupuk di sanubari Para Rasul melalui peristiwa-peristiwa penampakan Tuhan.

Kehadiran

Kalau Tuhan senantiasa memberi harapan dengan kehadiran-Nya melalui “penampakan-penampakan” sesama, mestinya “ide spontan” bunuh diri tidak perlu muncul ke tataran kesadaran manusia. Dari yang awalnya hanya “ide”, niat buruk itu bisa menjadi kenyataan ketika kehendak mengatakan “ya” atas kondisi jiwa yang labil dan putus harapan.

Kehadiran sesama yang memberi harapan menjadi obat mujarab bagi jiwa-jiwa yang mengalami desolasi. Menjadi misi kita sebagai orang beriman untuk senantiasa memberikan harapan bagi saudara-saudara kita yang dirundung perasaan “ditinggal” dan putus harapan.

Memberi harapan adalah tindakan beriman. Menghibur jelas merupakan perbuatan kasih. Menemani orang yang lagi dirundung kesusahan sungguh merupakan perbuatan bijak. Sebab, seperti kata penginjil Yohanes, “Whoever loves, knows God”.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here