[media-credit name=”zakatorg” align=”aligncenter” width=”375″][/media-credit]MEMBERI tak hanya bernilai pada orang yang kita beri, tetapi juga bernilai bagi si pemberi. Dengan memberi, seseorang belajar banyak makna dalam kehidupannya, mulai dari kesempatan untuk mengamalkan ajaran agama sampai pada tataran yang lebih dalam, kesempatan untuk membangun keiklasan dan kemurnian hati.
Seperti kita sadari, semua ajaran agama mengajak pengikutnya untuk memberikan apa yang kita miliki kepada mereka yang tidak memiliki. Dalam tradisi Yahudi ada istilah “tzedakah” yang sebenarnya agak mirip dengan istilah Islam “sadaqah”. Keduanya mengandung makna yang hampir mirip, yakni bantuan kepada orang yang membutuhkan.
Dalam Islam ada “zakat”, dimana orang yang memiliki kewajiban suci untuk menolong orang miskin, cacat, dan siapapun yang butuh pertolongan. Sementara itu orang-orang kristen didorong memberikan sepersepuluh dari penghasilannya untuk disumbangkan kepada sesama. Di Buddhis ada “Dana Paramita” dimana berderma tanpa pamrih akan membantu kita memiliki jiwa yang bebas dari iri dan dengki untuk mencapai pencerahan yang sempurna. (Hal. 272-274).
Esensi hidup
Memberi adalah esensi dari kehidupan yang agung ini. Alam bisa berjalan dengan sempurna karena segala unsurnya bergerak dengan saling memberi. Keharmonisan hidup yang kita sebut keseimbangan, hanya bisa kita singkap jika kita tak hanya memiliki kecakapan untuk mengumpulkan tetapi juga kemampuan untuk berbagi sebab dengan demikian kita selaras bergerak bersama Alam dalam perayaan hidup untuk saling memberi.
Namun sesungguhnya, di level lebih dalam yang terwakili kaum sufi, mereka tidak mengenal istilah memberi. Mereka hanya menyalurkan apa yang mereka terima, sebab apa yang melekat pada diri mereka adalah semata-mata hadiah. Mereka mengatakan, “Jika hidup ini adalah pemberian Tuhan dimana segala sesuatu yang ada pada kita berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya, lalu apakah kita benar-benar memiliki sesuatu?”
Keiklasan dalam memberi, dimana ketika tangan kanan memberi tangan kiri jangan sampai tahu, adalah sebuah pengolahan diri untuk memurnikan hati, sumber motivasi dalam memberi.
Ada seorang sahabat ketika melewati gerbang pintu tol, membayari mobil di belakangnya, meskipun ia tidak mengenal siapa pengemudinya. Atau seseorang seperti dikisahkan dalam novel “Robohnya Surau Kami”, mengapungkan kayu melalui sungai di malam hari supaya tidak ada orang yang tahu, karena ia ingin membantu menyumbangkan kayu miliknya untuk sebuah surau yang rusak parah, yang berdiri tepat di pinggir aliran sungai itu.
Demikianlah, makna hidup terletak bukan pada apa yang kita lakukan pada orang lain, tetapi ketika kita melupakannya. (selesai)
Hidup ini adalah permainan bumerang,
Apa yang kita lepas, itulah yang akan kembali kepada kita.
(Florence Shinn)