“Nduk, ujianne sira kapan marine? (Puteriku, ujianmu kapan selesainya?),” tanya Surti kepada puterinya, Kartini, yang pekan ini sedang menempuh ujian akhir sekolah menengah atas.
“Jum’at, Mak’e,” jawab Kartini sambil mencuci piring bekas sarapan.
“Ora krasa, Kartini diluk engkas sekolahe rampung (Tak terasa, Kartini sebentar lagi lulus sekolah),” gumam Surti dalam hati.
Sebagai seorang ibu tunggal, Surti merasa haru dan bangga bisa menghantar puterinya sejauh ini. Surti sendiri hanya sempat bersekolah sampai kelas dua SMP.
Nikah dini
Orangtuanya yang hanya buruh tani, harus bekerja keras demi mencukupi kebutuhan empat anak. Ketika tahu Surti dekat dengan seorang pemuda, orangtuanya segera menikahkannya. Bagi mereka, itu cara mengurangi beban. Terlebih lagi, Surti anak perempuan – bukan prioritas untuk disekolahkan tinggi-tinggi.
Di lereng Pegunungan Bromo, tempat tinggal Surti, pernikahan dini bukan hal aneh. Selain karena kondisi ekonomi, keterbatasan wawasan orangtua juga menjadi faktor. Bahkan, tidak sedikit anak yang tidak memiliki kemauan untuk bersekolah, meski orang tuanya sebenarnya mampu secara finansial. Kalau sudah begitu, menikah muda dianggap sebagai satu-satunya jalan, apalagi jika sudah ada calon.

Di desa itu, pernikahan di atas usia 25 tahun dianggap “terlambat”. Usia 22 tahun adalah batas umum. Tapi pernikahan di bawah usia 17 tahun pun masih sering terjadi, dan tak jarang berujung pada perceraian. Tak heran jika banyak orang dewasa di desa tersebut setidaknya pernah menikah dua kali.
Kartini baru berusia empat bulan, saat suami Surti meninggal dunia karena kecelakaan. Mobil pick-up berisi sayuran yang ditumpanginya tergelincir ke jurang saat kabut tebal menyelimuti jalan. Dari lima orang di kendaraan itu, hanya Parman saja yang tidak selamat.
Kematian Parman, suaminya, sungguh merupakan pukulan berat bagi Surti yang saat masih muda belia. Juga belum tahu apa yang harus dilakukan. Ia hanya bisa menangis dalam kebingungan. Pulang kembali ke rumah orangtuanya tentu saja bukan pilihan; ia tak ingin menambah beban mereka. Untunglah, mertuanya memintanya untuk tetap tinggal bersama. Dukungan merekalah yang menguatkan Surti untuk membesarkan Kartini.
Kini, Surti tinggal bersama Kartini dan ibu mertuanya, Kamiyati, yang akrab disapa Mbah Kami oleh tetangga. Mereka bertiga tinggal dalam satu rumah sederhana. Ayah mertua Surti baru saja meninggal beberapa bulan lalu. Sementara saudara-saudara Parman tinggal di rumah lain, masih dalam satu pekarangan. Tiga saudara lainnya tinggal di desa tetangga, sekitar satu kilometer dari rumah mereka.

Sehari-hari, Surti bekerja di ladang bersama Mbah Kami. Meski usia tak lagi muda, tenaga Mbah Kami masih kuat. Sejak kecil, ia memang terbiasa bekerja di ladang – sebagaimana hampir semua anak-anak di Suku Tengger. Bahkan sejak usia balita, mereka sudah terbiasa ikut ke ladang bersama orangtua.
Lahan yang dikelola Surti dan Mbah Kami hanyalah sebidang kecil warisan dari almarhum ayah Parman. Di atas lahan sekuplik kecil itu, mereka bergantian menanam ucet (buncis), becei (sawi putih), dan lobak dekong. Hasil panennya tidak dijual semua – sebagian besar ditabung untuk biaya kuliah Kartini di Surabaya. Itulah impian terbesar Surti: melihat anaknya melanjutkan pendidikan tinggi.
Untuk kebutuhan harian, Surti bekerja sebagai buruh ladang milik orang lain. Daerah tempat tinggal mereka memang dikenal sebagai penghasil sayur-mayur: kubis, wortel, brokoli, lobak, kentang, dan lainnya. Saat musim panen, upah buruh cukup lumayan untuk menyambung hidup.
Cita-cita ingin menjadi guru
Surti tidak ingin anaknya bernasib sama seperti dirinya – terhenti di tengah jalan dan kehilangan cita-cita menjadi guru. Untunglah, Kartini bukan anak yang sulit. Ia penurut dan sederhana, serta cepat belajar hal-hal rumahtangga. Itu saja bekal yang bisa Surti berikan saat Kartini nanti harus ngekos dan hidup mandiri di kota.
Surti sadar dirinya tidak bisa membantu Kartini belajar atau mengerjakan tugas sekolah. Tapi ia selalu bersyukur, karena Kartini adalah anak cerdas dan mandiri.
Lebih lagi, Surti tak henti mengucap syukur saat Kartini berhasil mendapat beasiswa dari salah satu universitas di Surabaya. Bebannya terasa lebih ringan. Dan, seperti ibunya, Kartini pun bercita-cita menjadi seorang guru – dan kembali mengajar di desa mereka suatu hari nanti.

“Ti… Surti, ayo budal wis (Surti, ayo berangkat.),” teriak Mbah Kami dari luar rumah, membuyarkan lamunan Surti.
“Rika disik, Mak,” sahut Surti sambil bergegas menyusul.
Sambil melangkah keluar rumah menuju ladang, Surti menatap puterinya dan dalam hati ia selalu mengucap, “Ayo, Nduk… anakku Kartini… mlaku bareng Emakmu, gawe mujudken cita-citane awak kene. (Mari, putriku Kartini… berjalanlah bersama ibumu untuk mewujudkan cita-cita kita bersama.)
Selamat Hari Kartini. Selamat Hari Emansipasi untuk Kaum Perempuan Indonesia.