HAMPIR dua tahun dunia dilanda Covid-19 dengan berbagai variannya. Situasi itu menjadi pandemi global dan menghantam segala lini kehidupan: sosial, budaya, ekonomi, politik, dan relasi turut diporak-porandakan. Semua mengalami pandemi Covid-19 yang sungguh mencekam.
Manusia dituntut untuk beradaptasi dan menemukan cara baru menghadapi situasi yang tidak terkendali tersebut. Badai Covid-19 menghadirkan duka mendalam bagi dunia bahkan dapat dikatakan sejarah kelam abad modern. Jutaan nyawa menjadi korban keganasannya.
Di tengah situasi demikian dapatkah kita tersenyum? Masih adakah harapan kita kepada Sang Pengada?
Berbagai pertanyaan berseliweran dalam benak kita. Satu hal yang pasti badai Covid-19 mengungkapkan bahwa manusia begitu rapuh dan tak berdaya. Lantas bagaimana kita menyikapi kompleksitas persoalan tersebut?
Sebagai orang beriman kita mesti memiliki pegangan untuk selalu bersandar kepada Dia yang kita imani (Tuhan). Dalam hal ini kita juga membutuhkan sosok yang menjembatani kita untuk tetap berpengharapan yakni Maria Bunda Yesus.
Bersama Maria kita belajar berpegang teguh kepada Tuhan, sekalipun badai yang dahsyat menghampiri.
Maria di tengah Badai
Kesunyian total di atas Kalvari. Badai penyiksaan dan penderitaan membelai tiap raga yang berada di sekitar bukit tengkorak. Kegelapan menggelisahkan nan menakutkan.
Maut menghampiri para murid Yesus; mencekam dan membius kedalam ruang hampa; tanpa kata, tanpa perlawanan, pun pembelaan melihat Guru terkulai kaku bergantung di kayu salib.
Semangat membara para murid ‘mati’ bersama-Nya surut bersama situasi, lenyap dilanda keegoisan masing-masing.
Semua sibuk menyelamatkan diri. Mereka tidak sadar sedang lari dari sumber keselamatan itu sendiri.
Sebagian besar dari musuh Yesus pergi, pun murid-Nya tak kelihatan batang hidung dan tajinya. Semua terpaku kaku bersama situasi. Takut. Tinggal beberapa orang dengan penuh kesetiaan menghantar Sang Sabda kepada Bapa-Nya. Mereka telah kehilangan peganggan.
Harapan yang telah membatin seketika pupus. Segalanya menjadi kalut. Para murid Yesus tengelam dalam ketakutan tak terkatakan.
Peristiwa penangkapan Yesus sampai Kalvari membuyarkan seluruh harapan para murid. Semuanya lari terbirit-birit menyelamatkan diri. Mengunci pintu. Ketulian dan kebutaan menjadi habitus baru dalam diri para murid.
Mereka lupa wejangan sang Guru “Akulah jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh. 14:6). Menjauh dari jalan dan kebenaran sehingga bayangan kematian mengahantui. Para murid sungguh berada dalam titik nadir.
Bertolak belakang dengan sikap para murid, sesosok wanita dengan langkah tertatih dan ragah yang hampir rapuh justrus berkeinginan selalu dekat dan terus mendalami kesunyiaan tersebut.
Ia tidak ingin keluar dari kesunyiaan atau lari dari bahaya maut yang semakin mendekat. Ia tetap melangkah dan bertahan.
Kesedihan terbesar barangkali bukan kesedihan manusia karena Tuhan mati, tetapi kesedihan seorang ibu menyaksikan anaknya menemui ajal dalam penyaliban.
Ya… itulah Maria dia tetap ada di situ.
Maria Ada di Situ
Dalam cahaya samar-samar di atas Kalvari, sesosok wanita mendekati dan tetap berdiri tegak di bawah kaki salib-Nya ”Dekat salib Yesus berdiri Ibu-Nya “ (Yoh. 19:25). Situasi mencekam, kegelapan menyelimuti, dan badai duka semakin mendekat; tetapi tidak menggetarkan cintanya.
Ia berdiri tegak di bawah salib Puteranya. Tidak ada air mata, tidak ada keluhan, tidak ada kata yang bisa lukiskan dalam dan besar kesengsaraanya” (Antoneli Gabriel, Mengikuti Dia dalam Sengsara-NYa, 2006: 215).
Tak pernah ada dan tak akan pernah ada kesengsaraan seperti itu. Dia adalah Maria ibu Yesus.
Lukisan derita di Golgota
Pada abad ke 13 seorang rahib Fransiskan melukiskan penderitaan di Golgota dalam lagunya “Stabat Mater dolorosa iuxta crucem lacrimosa dum pendebat Filius…”- “Ibu itu di sana, berdiri, berkabung, di sisi salib tempat sang anak tergantung”.
Ke-ada-an Maria di bawah kaki salib Putera merupakan konsekuensi langsung dari Fiat-nya. Maria yang ber-ada di bawah kaki salib Putra bukanlah sekedar ada.
Ada-nya Maria di sini adalah untuk mempersembahkan Puteranya ke dalam rencana dan kehendak Bapa; seturut Fiat-nya “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan. Terjadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk. 1:38).
Fiat Maria tidak berhenti saat dirinya mengamini rencana besar dari Allah tetapi mendapatkan mahkota agung justru ketika ia ada di bawah salib Putranya.
Fiat Maria mencapai puncak; kepenuhan dalam peziarahan imannya, saat ia tanpa ragu-ragu mempertahankan dan membuktikan imannya berdiri di bawah salib Tuhan’.
Ia ada dan mengambil secara total (jiwa dan raga) dalam penderitaan Putranya. Maria berdiri dengan tegak di bawah kaki salib adalah sebuah keteguhan, kekuatan, kekokohan, kesiapsedian, harapan, bahasa cinta. Maria mempersembahkan segalanya dalam kebersatuaanya dengan kehendak Bapa.
Keber-satu-annya dengan Tuhan menjadi fondasi yang kokoh untuk menopang Maria semenjak dari Betlehem sampai di puncak Kalvari.
Maria tidak pernah berjalan sendirian menapaki pergulatan hidupnya, dia juga tidak pernah melepaskan dirinya dari sang Kekuatan, ia selalu merajut persatuan untuk berjalan bersama Sang Sabda (bdk. Luk 1 :35).
Yah, Maria tidak pernah memilih jalan sendirian sebab jalan ini bukan semata atas kehendaknya tetapi pertama-tama sebagai otoritas Tuhan sendiri “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu.” (Yoh. 15: 16a).
Smile at the storm
Kita semua terpanggil baik secara khusus maupun secara umum diundang untuk memperkokoh persatuan dengan Dia yang memanggil. Maria menjadi model untuk membangun persatuan dengan Tuhan. Maria telah menanggalkan dirinya dan membiarkannya disatukan dalam Tuhan ‘aku ini hamba’ (seorang hamba hanya melaksanakan apa yang dikatakan tuannya).
Dalam seluruh hidupnya Maria memberikan teladan mempesona selalu merajut persatuan dan berpengharapan. Pengharapan yang ditunjukkan Maria tidak bersifat situasional tetapi totalitas. Untung-malang, suka-duka, senang-sedih.
Maria berpengharapan dalam situasi apa
pun. Sikap Maria sungguh jauh dengan tendensi manusia yang terkadang melihat Tuhan semata dalam kesuksesan, kebahagian tetapi jauh “menggugat” Tuhan ketika kegagalan, kesedihan dan peristiwa memiluhkan menghampiri.
Maria mampu mendesain dukacitanya seketika menjadi sukacita. Kepasrahan total dan persatuan pada rencana dan kehendak Bapa; jawabanya. Ia telah mencapai puncak kemenangan dalam peziarahan imannya sebagai hamba Tuhan.
Senyum kemenangan ’sukacita’ di tengah badai menerpa tersungging penuh kasih dan kelemahlembutan darinya. Badai di Kalvari yang mencekam, membius dan menakutkan tak melunturkan senyum manis penuh kasih keibuan dari Maria.
Dalam satu kesempatan Paus Fransiskus pernah mengatakan bahwa “Maria adalah ibu pengharapan, figur yang sepenuhnya mengekspresikan pengharapan kristiani. Keseluruhan hidupnya mengekspresikan serangkaian episode pengharapan: dimulai dari fiat-nya mengamini kabar gembira, menyimpan dalam hati ramalan Simeon dan berdiri kokoh di bawah salib Putranya”.
Seluruh kesulitan itu dilalui Maria dalam pengharapan.
Di tengah situasi hidup yang menggerogoti kedamaian kita bahkan mengancam keberadaan kita. Masihkah kita memiliki pengharapan dan mampu melewatinya dengan penuh senyum? Masalah yang bertubi-tubi menghampiri, peristiwa kegagalan, ekonomi yang naik turun, relasi kurang harmonis antar pasangan, anak, orang tua dan orang lain. Dapatkah kita laluinya dengan penuh sukacita dan selalu berpengharapan?
Paus Yohanes Paulus II (6 Oktober 1997) memberi pesan yang sungguh menyentuh tentang figur Maria sebagai teladan ulung:
“Wanita beriman, Maria dari Nazaret, Bunda Allah, telah diberikan kepada kita sebagai teladan peziarahan iman. Dari dan dalam Maria kita belajar untuk tunduk kepada kehendak Allah dalam segala hal, kita belajar untuk percaya bahkan bila semua harapan tanpak sirna…”.
Di tengah situasi yang tanpak nihil sekalipun Maria tetap menaruh harapan ‘dia tersenyum’. Kekuatan Maria melewati badai dashyat dan tetap tersenyum tidak lain ialah pengharapan dan persatunnya yang kokoh dengan Tuhan.
Kahlil Gibran, penyair kelahiran Libanon (1833), pernah menyiarkan tentang keindahan Maria:
“Dia adalah manusia sendu, tetapi dukanya selalu muncul ke bibir dengan melahirkan senyuman. Laksana sehelai kerudung emas yang menyapu rimba ketika musim gugur tiba. Atau seperti cahaya rembulan yang jatuh di pinggir danau. Ia tersenyum seolah-olah bibirnya hendak bernyanyi di pesta pernikahan. Namun, ia manusia sendu yang menyimpan duka”.
Sekalipun Maria dalam duka tak terkatakan, ia tetap melahirkan senyum di bibirnya. Senyum kemenangan Maria, ia rangkaikan dalam kidung sucinya:
“Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hambaNya. Sesungguhnya mulai dari sekarang segala bangsa akan menyebut aku bahagia.” (Luk 1:46-48).
Penutup
Pada salah satu kesempatan,Paus Fransiskus juga pernah mengatakan bahwa “saat hidup kita berat, penuh tantangan dan penuh dengan luka ketahuilah bahwa kita tidak sendirian. Pergilah kepada Bunda Maria layaknya seorang anak yang meminta pertolongan dari Ibu”.
Ibu manakah yang tidak tergerak hatinya menyaksikan anaknya mencari keteduhan? Seorang ibu dengan naluri keibuannya akan menanggalkan segala diri ‘hidupnya’ demi buah hatinya.
Kebahagian ibu adalah melihat anaknya tersenyum.
Mari kita memandang Maria sebagai ibu kita masing-masing yang siang-malam mengorbankan dirinya supaya anaknya tersenyum.
Bersama Maria kita belajar untuk membangun persatuan, berpengharapan dan tetap tersenyum menjalani seluruh lika-likunya kehidupan.
Maria menjadi model ulung dan figur menggagumkan yang mampu menginspirasi dan menggugah seluruh pergulatan iman kita bersama Tuhan.
Mari kita menimba dan menghidupi spiritualitas Bunda Maria yang tak pernah berkesudahan. Menghadapi segala lika-liku hidup hendaknya kita tetap berpengharapan, bukankah Maria ada di situ?
Kita hanya diminta untuk masuk dan berpasrah bersama Maria menuju sumber utama ‘Tuhan’. Dengan demikian kita tetap tersenyum ‘berpengharapan’ melalui segala lika-likunya kehidupan.