USAI diperiksa Komisi Permberantasan Korupsi sebagai tersangka kasus suap proyek wisma atlet SEA Games di Palembang, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin pada Kamis (18/8) bungkam terkait keterlibatan orang lain dalam perkara itu.
Nazaruddin terlihat pasrah dan meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak mengganggu istrinya dan anaknya. “Saya tidak akan ngomong apa-apa. Saya lupa semuanya, saya enggak tahu apa-apa sudah,” katanya seperti dikutip Harian Kompas. Nazaruddin malah meminta KPK tidak perlu menyidik kasusnya, melainkan langsung menahannya saja.
Ya, kasus Nazaruddin ini menyedot atensi jutaan manusia di Indonesia karena diduga terkait dengan pejabat nomor satu di negeri ini. Saya tidak akan membahas kasus korupsi ini lebih panjang dan kaitannya dengan siapa saja. Yang justru menarik, setidaknya menurut saya, adalah sikap diam sang mantan bendahara ini. Dia tidak hanya bungkam melainkan juga mau menjadi “korban” meskipun kata ‘korban’ di sini pun patut dipertanyakan juga.
Sikap pahlawan
Kasus seperti ini mengingatkan saya pada sebuah pernyataan yang menyebutkan bahwa “banyaknya kejahatan di dunia ini sebenarnya terjadi karena banyak orang baik tidak mau memanfaatkan kebaikannya untuk orang lain“.
Saya tidak bermaksud menunjuk bahwa sang bendahara itu baik, tetapi hendak menyebutkan bahwa banyak dari kita sering melihat dan menyaksikan orang lain berbuat tidak baik bahkan jahat tetapi diam karena kita tidak mau terlibat di dalamnya.
Kita tidak berani memerankan diri sebagai pembela kebenaran dan kebaikan. Peran itu bukan lagi menarik dan populer buat kita. Lebih baik diam dan cari selamat sendiri. Semangat ‘kepahlawan’ ini menurut saya sudah sangat jarang terjadi di negeri ini. Bahkan kita takut disebut pahlawan kesiangan. Padahal justru itu yang kita ucapkan saat kita memperbarui janji baptis saat ditanya “Beranikah Anda menolak segala bentuk kejahatan dan godaan setan?”
Tentu bukan persoalan mudah bagi sebagian dari kita. Saya akui itu. Tetapi justru di situlah kita diuji. Benarkah Anda, saya adalah seorang Katolik sejati, murid Yesus yang tangguh, pemberani dan tak kenal takut? Anda masing-masing silakan memeriksa diri sendiri.
Memang suatu kali saya menemukan kasus-kasus para pemberani ini, tapi hanya satu dari ribuan orang yang ada. Ambil contoh kasus dosen filsafat saya yang pernah berteriak dan menegur pencopet saat berada di bus. Beliau ini warga Kanada yang sudah lama tinggal di Indonesia. Sebagai seorang yang saleh dan jujur, tentu saja sikap itu baginya tepat, maka tanpa takut dilakukannya. Sementara orang lain diam dan tak mau terlibat.
Saya sendiri pernah berdebat seru dengan seorang polisi yang menilang para pengendara sepeda motor sekenanya gara-gara tidak menyalakan lampu di siang hari. Banyak yang lolos sementara yang lain tidak. Bukan soal lolosnya, tetapi soal aturan yang menurut saya tidak masuk akal. Sudahlah, tidak perlu membahas terlalu jauh tentang aturan ini dan kasus ini. Saya hanya mau menunjukkan bahwa keberanian rasanya sudah menjadi barang mahal di negeri ini.
Modus setan
Santo Ignatius dalam buku Latihan Rohani anotasi ke 326 menyebutkan bahwa setan itu seperti buaya darat yang selalu ingin agar tipuannya, perbuatannya disembunyikan dan tidak dibukakan.
“Padahal kalau kita ingin maju (dalam kehidupan rohani) , kita harus terbuka dan berani mengatakannya,” kata Romo Paul Suparno SJ dalam bukunya yang berjudul “Roh Baik dan Roh Jahat; praktik Pembedaan Roh dan Pemilihan Menurut Latihan Rohani St.Ignatius.”
Agar kejahatan kita dapat dikalahkan perlulah kita membukakannya, menceritakannya pada orang lain yang dapat membantu. Seperti penyakit, bila kita ingin sembuh, kata Romo Paul, kita perlu mengatakan kepada dokter apa yang kita alami. Dengan demikian, sakit itu dapat diketahui dan dapat disembuhkan.
Karena ciri semua orang yang berbuat jahat adalah menyembunyikan kejahatannya agar dapat berbuat jahat lagi, maka “Membuka godaan, kejahatan adalah cara menyembuhkan kejahatan itu,” kata Romo Paul. Nah, mau seperti Nazaruddin atau Yesus?