Renungan Harian
Senin, 20 Desember 2021
Bacaan I: Yes. 7: 10-14
Injil: Luk. 1: 26-38
“ROMO, setelah menikah, saya memutuskan untuk tidak bekerja. Saya ingin fokus mengurus rumahtangga, dan membantu usaha suami yang sedang dirintis.
Hari-hari yang menyenangkan bagi saya, karena sejak dulu saya punya mimpi kalau sudah berkeluarga saya akan mengurus rumahtangga.
Saya memasak untuk suami, beberes rumah, dan sedikit membantu usaha suami.
Saya semakin bahagia karena suami saya adalah orang yang mau mengerjakan pekerjaan rumah yang sederhana, seperti mengepel lantai, membersihkan kamar mandi dan mencuci piring.
Kami mengerjakan pekerjaan rumah bersama dan kami menjalankan usaha bersama.
Suatu saat, saya kedatangan sahabat saya, dia menawari pekerjaan di perusahaan tempat dia bekerja.
Saya menolak tawaran itu, karena saya sudah menikmati pilihan saya untuk mengurus rumahtangga.
Teman saya mendesak dan mengatakan bahwa ini adalah berkat untuk saya.
Saya bicara dengan suami dan keluarga. Suami amat mendukung saya bekerja lagi; dia mengatakan bahwa usahanya sudah dapat dipegang sendiri dengan sejumlah karyawan yang ada.
Suami mendorong saya untuk bekerja. Bukan pertama-tama soal gaji, tetapi suami melihat potensi dalam diri saya akan menjadi berkat bagi banyak orang lewat perusahaan itu.
Dengan pertimbangan dari suami dan dorongan keluarga maka saya menerima tawaran teman saya. Setelah wawancara dengan pemilik perusahaan, akhirnya saya bekerja di perusahaan itu.
Dalam perjalanan bekerja di perusahaan itu, saya menemukan banyak ketidakberesan yang dalam perjalanan waktu akan merugikan perusahaan.
Ada banyak kecurangan yang dilakukan oleh banyak karyawan memanfaatkan longgarnya aturan perusahaan. Temuan itu saya laporkan ke pimpinan yang mengakibatkan adanya aturan-aturan yang lebih ketat.
Akibatnya, saya mendapatkan intimidasi dari teman-teman karyawan dan bahkan dari sahabat saya yang memberi tawaran pekerjaan ini.
Intimidasi itu membuat saya tertekan, sehingga saya berpikir untuk keluar dari perusahaan itu. Saat saya bicara dengan suami, tapi justru ia melarang saya keluar.
Dia mengatakan agar saya berani bertahan, karena dengan saya bertahan berarti saya menjadi berkat.
Saya marah dengan suami karena bagaimana mungkin saya menjadi berkat dengan cara membiarkan diri diintimidasi.
Suami dengan sabar menjelaskan bahwa dengan saya bertahan, maka saya bisa menyadarkan teman-teman yang selama ini berbuat curang.
Juga dengan saya bertahan saya bisa membantu perusahaan agar tidak dirongrong oleh orang-orang yang berniat jahat.
Suami saya menegaskan, kalau Tuhan pasti menguatkan.
Saya berjuang untuk bertahan dan semakin lama semakin banyak karyawan yang kena pemutusan hubungan kerja karena kejahatan yang dilakukan di perusahaan; bahkan termasuk sahabat saya.
Namun anehnya setelah beberapa bulan kemudian, saya bertemu dengan sahabat. Ia yang selama ini mengintimidasi saya justru mengucapkan terimakasih.
Dia merasakan seandainya saya tidak masuk ke perusahaan itu, maka dirinya pasti sudah masuk penjara karena apa yang dilakukannya.
Perjumpaan itu membuat saya mengerti apa yang selama ini dikatakan suami saya bahwa saya harus menjadi berkat.
Menjadi berkat bukan berarti soal menyenangkan semua orang, tetapi menjadi berkat berarti memberikan kehidupan yang lebih baik, meski hanya langkah kecil,” seorang ibu berkisah.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Lukas, Maria disebut yang dikaruniai dan terberkati karena rela dan terbuka untuk menjadi ibu penebus.
Menjadi sarana penyelamatan dunia, menjadi sarana membuat kehidupan dunia menjadi lebih baik.