Berkhat Santo Yusup (BKSY), Program Misi Kemanusiaan Besutan PangLingSah (1)

0
360 views
Ilustrasi: Orangtua antar anak masuk Seminari Mertoyudan (Dok. Seminari Mertoyudan untuk Sesawi.Net)

INI benar-benar sebuah peristiwa sungguh remeh temeh. Kisah sangat sederhana. Ini terjadi di bulan Mei 1965.

Sama seperti puluhan remaja lainnya yang baru saja lulus Sekolah Rakyat (SR) zaman itu, Cyrillus Harinowo juga ikut berbondong-bondong datang di Seminari Mertoyudan. Karena sejak kecil, ia sudah bercita-cita ingin jadi imam. Dan karenanya lalu ikut tes masuk Seminari Mertoyudan.

Salah satu teman seangkatannya yang waktu itu juga ingin masuk Seminari Mertoyudan tahun 1965 itu adalah Frans “Gomek” Wiyono.

Angelus di Bangsal Kaca

Begitu tiba di Magelang bulan Juni tahun 1965 itu, mereka langsung diajak berkumpul di aula besar Seminari Mertoyudan.

Di situ pula sudah ada puluhan remaja cilik lainnya -juga baru saja lulus SD- yang juga sama-sama ingin masuk Seminari Mertoyudan. 

Aula besar Seminari Mertoyudan di kampus Medan Pratama (MP) saat itu populer dengan sebutan Spelood atau Bangsal Kaca. Di situ, para alumni SD dari berbagai daerah di Jawa ini langsung bertemu dengan para angelus mereka.

Para angelus inilahyang akan membimbing mereka mengikuti tes masuk. Ternyata dari sekian banyak angelus (malaikat pamomong) ini ada seorang seminaris remaja bernama Suharyo – kelak menjadi Kardinal ketiga dari Indonesia dan kini Uskup Keuskupan Agung Jakarta.

Bersama Suharyo remaja, di Spelood itu juga ada Warsito – juga jadi angelus. Di tahun 1965 saat itu, mereka berdua sudah menjadi seminaris.

Mereka berdua didapuk menjadi angeli -bentuk jamak dari kata “angelus”. Dengan tugas membimbing para murid lulusan SD mengikuti tes masuk seminari.

Bangsal Kaca Seminari Mertoyudan (Dok. Seminari Mertoyudan untuk Sesawi.Net)

Gema belasan tahun kemudian

Bagi banyak orang, kisah sederhana yang berlangsung di Spelood Seminari Mertoyudan tahun 1965 lalu itu bisa jadi kurang punya makna.

Namun, bagi Harinowo, Frans Wiyono, Warsito, dan Suharyo, nukilan kisah sangat sederhana ini sudah pasti punya makna sangat besar.

Tentu saja tidak pada hari itu. Namun menjadi “bergema” sangat nyaring bagi para “pelaku” sejarah di Seminari Mertoyudan setelah sekian puluh tahun berlalu.

Tepatnya, ketika Mgr. Ignatius Suharyo mulai mengawali tugas barunya di Keuskupan Agung Jakarta sebagai Uskup setelah sekian lamanya menjabat Uskup Keuskupan Agung Semarang.

Juga, ketika Frans Wiyono sudah banyak malang melintang berkarier sebagai ahli micro financing dan asuransi. Bahkan untuk urusan ini saja, ia harus studi di Glasgow di Scotland segala.

Dan tentu saja juga bagi Cyrillus Harinowo yang saat itu sudah sukses meniti karier gemilang di blantika manajemen keuangan sebagai ahli moneter di Bank Sentral Indonesia (BI), juga di International Monetary Fund (IMF) berkedudukan di Washington, Amerika Serikat.

PaLingSah untuk Kardinal Suharyo

Kenangan indah pengalaman tes masuk di Seminari Mertoyudan tahun 1965 itu kembali mengemuka di PaLingSah. Terutama, ketika komunitas Paguyuban Lingkaran Sahabat (PaLingSah) untuk Kardinal Suharyo ini mulai menggeliat muncul. Terjadi kurang lebih 12 tahun silam.

Paguyuban Lingkaran Sahabat atau PaLingSah adalah komunitas yang anggotanya terdiri dari para alumni Seminari Mertoyudan.

Terutama mereka yang pernah mengalami masa tahun-tahun pembinaan kurang lebih “bersamaan” dengan Kardinal Suharyo di Seminari Mertoyudan.

Sebut saja, selain empat “aktor” di atas, gerak dinamika PaLingSah di awal berdirinya itu semakin menderu kencang berkat keterlibatan antara lain Parno Isworo dan Kaduhu Sosroyuda.

Kedua alumni Seminari Mertoyudan ini juga pernah berkarir di manajemen puncak PLN dan Bank Mandiri.

Paling tidak seingat penulis, gema keberadaan PaLingSah itu jadi mengemuka kuat, saat digelar pertemuan dan beberapa bulan kemudian diadakan misa bersama di rumah Surya Pujawiyata di bilangan Pondok Cabe, Ciputat, Oktober 2016 silam.

Tahun-tahun itu, PaLingSah sebagai komunitas alumni Seminari Mertoyudan sudah merumuskan langkah untuk melakukan “sesuatu” yang baik. Sebuah program baru telah diretas guna mendukung tugas dan karya Kardinal Suharyo sebagai Uskup baru di KAJ.

Caranya dengan apa dan bagaimana “tindakan-tindakan” baik itu akan dilakukan oleh PaLingSah saat itu kurang lebih berupa niat luhur dan keinginan bersama. Untuk bagaimana semua pihak bisa mewujudkan iman kristiani secara kongkret di masyarakat.

Dan barulah kemudian semakin mendapatkan gambaran bentuk kongkretnya, setelah para penggiat PaLingSah ini mendengarkan ekspektasi Kardinal Suharyo dalam kiprahnya mau mengemban misi pastoral kegembalaannya di KAJ.

Itu tidak lain adalah bagaimana kita semua sebagai umat Katolik di KAJ bisa mewujudkan iman kristiani di dalam tindakan-tindakan kongkret di masyarakat.

Objektifnya sederhana saja -demikian menurut rumusan konsep teologi pastoral Kardinal Suharyo- karena “semakin beriman, maka semakin pula kita harus berbelara” kepada sesama.

Konsep teologi pastoral ini lalu menjadi santapan diskusi hangat di antara para penggiat PaLingSah. Hingga akhirnya keluarlah konsep ciamik. PaLingSah berhasil menggulirkan program belarasa KAJ kepada sesama.

Dilakukan melalui program Berkhat Santo Yusup atau kini dikenal sebagai BKSY. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here