SETELAH turun dari perjalanan yang cukup melelahkan di Gua Maria Klaces Nusakambangan, kami beristirahat di Warung Bu Miyarta. Pemilik warung melayani kami untuk makan siang di dapurnya yang sederhana.
Ia bertanya pada para romo, “Kok cepat sekali turun romo? Romo gak misa ya? Hanya piknik saja. Biasanya para romo kalau ke Gua Maria kan misa”.
Kami jadi tersipu, perempuan berjilbab itu paham betul tugas seorang romo yang biasa mengantar peziarah datang ke Gua Maria.
Sambil makan siang di warung itu kami bercanda ria mengadakan sharing pengalaman masing-masing. Perjalanan yang melelahkan, naik turun bukit, menyusuri jalan setapak dengan lalang tinggi di kanan kiri, jalan berbatuan terjal.
Ada yang pulang pergi mampu berjalan kaki. Ada pula yang naik ojek sepeda motor dari penduduk setempat.
Kegiatan ini adalah bagian dari bentuk ongoing formation bagi para imam diosesan (praja) kategori medior Keuskupan Agung Semarang yang telah meredan usia tahbisan antara 16-25 tahun.
Menemui Romo Carolus OMI
Sebelumnya, kami sempat mengadakan pembelajaran bersama Romo Carolus OMI yang berkarya di Paroki St. Stepanus Cilacap.
Kami ingin “ngangsu kawruh” kepada beliau tentang bagaimana bisa berkarya di tengah masyarakat yang multikultural.
Romo Carolus diakui sebagai “manusia setengah dewa” di lingkungan masyarakat Kabupaten Cilacap dan sekitarnya. Karya-karyanya sungguh berdampak nyata menghadirkan sakramen keselamatan Gereja bagi semua orang.
Anti institusi gerejani
“Terus terang, saya adalah orang yang anti institusi Gereja. Bagi saya, Gereja adalah Sakramen Keselamatan bagi semua orang, apa pun agama, suku, etnis, latar belakang budayanya. Gereja itu adalah gerakan penyelamatan bagi semua orang. Yesus datang untuk menyelamatkan semua orang,” demikian Romo Carolus bercerita.
“Ketika Gereja menekankan institusinya, Gereja hanya ingin mendominir, menampakkan kekuasaannya. Gereja harus menampakkan wajah kerahiman Allah, cinta tanpa batas, tanpa syarat. Allah tidak akan membiarkan satu orang pun berada di neraka,” ujar pastor OMI dari Irlandia ini.
“Bagi Allah,” katanya lagi, “tidak ada neraka. Allah itu Maharahim. Allah ingin menyelamatkan orang-orang yang berdosa. Saya tidak setuju kalau ada sekolah Katolik mengeluarkan anak-anak bermasalah. Itulah tugasnya sekolah untuk membina, membimbing dan mengarahkan, bukan menyingkirkan mereka yang bermasalah. Belajarlah dari Yesus Sang Gembala Utama. Begitu pun Gereja harus hadir untuk menyelamatkan semua orang, terlebih mereka yang kecil, lemah dan miskin”.
50 tahun imamat
Kami belajar banyak dari perjumpaan dengan Romo Carolus OMI yang tahun 2019 ini akan merayakan 50 tahun imamatnya.
Setelah sharing dengan Romo Carolus, kami diantar dan dibagi-bagi ke-17 lingkungan di Paroki Cilacap.
Ada 46 imam yang bisa ikut acara ini.
Di lingkungan kami juga mengadakan pertemuan untuk saling meneguhkan. Umat banyak bertanya tentang imam praja Keuskupan Agung Semarang. Mereka kagum dengan banyaknya imam yang hadir.
Mereka baru tahu begitu banyak imam praja yang berkarya di keuskupan dan para misionaris domestik yang di kirim ke luar Jawa untuk membantu di berbagai tempat.
Saya pun bercerita, “Seorang uskup tanpa imam praja ibaratnya seperti macan ompong yang tak punya daya kekuatan”.
Perjalanan dilanjutkan menuju Gua Maria Klaces, Nusakambangan dengan naik perahu selama dua jam. Kendati melelahkan, namun banyak sukacita yang kami rasakan bersama. Persaudaraan imami yang saling meneguhkan.
Cilacap, 22-23 januari 2019