GLOBAL village without borders and no limits.
Itulah dunia hidup sosial manusia dewasa ini. Dunia ada di dalam genggaman tangan kita.
Inilah dunia zaman sekarang dimana gawai dan medsos ada di tangan kita yang hanya dengan sekali klik, maka arus informasi spontan dan instan akan goes viral kemana-mana tanpa kita sendiri akan mampu menyetopnya.
Sekarang, bukan hanya sekedar alat komunikasi itu ada di dalam genggaman tangan, melainkan alat komunikasi canggih juga telah mampu menjadikan ‘dunia dan kehidupan sana’ ada di dalam genggaman tangan.
Dunia sekarang ini sudah seperti sebuah ‘kampung kecil’ yang sifatnya mendunia –melampaui batas-batas teritorial negara, bahasa, budaya, dan waktu.
Apa yang terjadi di belahan dunia sana dan hanya dalam kilasan detik, maka peristiwa itu bisa terjadi on the real time di tempat berbeda yang sangat jauh lokasinya.
Di sinilah, privasi personal lalu menjadi barang langka.
Banyak hal-hal yang sifat nya pribadi ‘urusan rumahtangga sendiri’ kini dengan mudah dan tanpa sadar terekspose keluar tanpa pernah kita kehendaki. Ketika hal-hal pribadi telah tersaji di media sosial, maka hidup personal kita menjadi ‘santapan’ perhatian orang dan kita serasa terjun bebas bak roller coaster.
Ini terjadi, manakala privasi kita telah ‘menjadi milik bersama’ di jalur medsos.
Lalu, para suster biarawati itu harus bagaimana?
Inilah poin yang mau diungkapkan dalam presentasi singkat dan diskusi ringan antara praktisi media dan para religius berjubah di balik biara ini.
Klausura biara tak imun lagi
Bias atau rembesan kemajuan teknologi komunikasi membuat tembok biara dan hukum klausura menjadi tidak imun lagi. Dengan berbagai aplikasi canggih yang disuguhkan oleh smartphone saat ini seperti WhatsApp, Line, FB, dan lainnya itu tidak sulit untuk ‘menghadirkan’ orang lain “nun jauh di sana” bisa masuk dan hinggap di ruang-ruang privat.
Bahkan dengan aplikasi lainya seperti video call, Google Duo, dll, orang bisa ngobrol jarak jauh face to face.
Secara fisik orang ‘di sebelah sana’ memang riil tidak masuk ke ruang privat, namuan dia ‘mampu hadir’ secara audio-visual dan gejolak emosi yang muncul sebagai efek ‘percakapan jarak jauh’ itu benar-benar mampu mengoyak komitmen dan mempengaruhi tingkah laku, ketika privasi kini bisa ‘diumbar’ kemana-mana.
Suster pun harus melek teknologi
Salah satu cara yang direkomendasikan oleh Mathias Hariyadi adalah para suster biarawati pun harus mulai melek dengan teknologi informasi. Juga mesti bijak bermain medsos.
Kecanggihan smartphone dengan segala dampak negatif dan positifnya bukan disikapi secara pesimistis, melainkan diperlakukan secara smart-and-wisely.
Medsos bisa dipakai sebagai instrumen jitu untuk sebaran informasi promosi panggilan.
Pada konteks inilah, sejumlah biarawati anggota Kongregasi Suster Fransiskus dari Perkandungan tak Bernoda Bunda Suci Allah (SFIC) provinsi Pontianak merasa beruntung boleh ‘menangkap’ Mathias Hariyadi untuk melakukan presentasi tentang dunia medsos, dunia politik kekinian, dan alam pikir Generasi Millenial Zaman Now usai perjalanannya ke Singkawang untuk liputan Cap Go Meh.
Dalam perbincangan selama tiga jam maraton ini, wartawan media katolik internasional berbasis di Eropa ini mengangkat tiga topik paparan:
- Peta politik Indonesia kekinian pasca Pilkada DKI Jakarta dalam konteks medsos dan hoax.
- Alam pikir Generasi Millenial Zaman Now.
- Kegiatan menulis dan reportasi peristiwa untuk misi pewartaan iman.
Paparan yang segar karena diselingi banyak anekdot dan contoh kongkret ini diikuti oleh para suster senior, medior, dan yunior.
Suster Provinsial SFIC Provinsi Pontianak Sr. Irene juga intensif mencerna paparan ini dan malah ingin agar sekali waktu diadakan program pelatihan dengan materi yang lebih mendalam dan ekstensif dengan alokasi waktu yang lebih panjang dan lama.
Bijak bermedsos
Supaya bijak bermedsos, kata Hariyadi, ada beberapa kiat yang perlu dilakukan ketika menerima konten berita, artikel, gambar di gawai pintar masing-masing.
- Segera lakukan prosedur check-and–recheck dengan mencari sumber berita di media massa berkategori mainstream.
- Bersikap waspada terhadap konten informasi yang sifatnya terlalu moralistis, bombastis, jenis bahasa hiperbola, bernada mengancam kalau informasinya tidak disebarkan, dll. Terhadap konten informasi ini, kita mesti bersikap kritis dengan bertanya sebagai tolok ukur kebenaran informasi tersebut: apakah masuk akal?, kronologi peristiwanya runtut apa tidak?, kesimpulan yang ditarik apakah logis?, poin-poin pembenarannya apakah rasional dan dari sumber yang valid?
- Teliti sebelum ‘membeli’ (baca: mengkonsumsi) konten berita dengan alamat URL yang sifatnya ‘mimicking’ (meniru-niru) alamat lama media massa mainstream.
- Saring dulu, sebelum sharing semua konten sebaran informasi melalui medsos.
- Meskipun memakai bahasa baku jurnalistik dan menampilkan fakta runtut, namun ada bumbu-bumbu berita yang sengaja disusupkan (distorsi).
- Cek di Google News.
- Jangan pernah sekalipun dan apalagi suka latah pasang status yang bersifat curhatan pribadi, informasi data pribadi, pernyataan bernada kritikan, luapan emosi amarah dll di medsos. Orang lain bisa membaca ‘isi hati’ Anda dan itu akan menjadi umpan mengasyikkan bagi para hacker atau pelaku kriminal untuk bisa mulai ‘menggarap’ Anda.
Suster penulis
Pada kesempatan itu, alumnus Seminari Mertoyudan angkatan 1978 ini juga mengajak para suster –meski tinggal di biara—juga aktif menjalin relasi pertemanan yang baik dan sehat dengan banyak orang. Syukur-syukur, harap dia, ada suster biarawati yang punya passion menulis untuk bisa dilatih menjadi pewarta produktif.
“Suster yang pintar menulis itu menjadi aset berharga tarekat,” tegas penyayang anjing ini, “karena suster penulis itu mampu mendokumentasikan aneka peristiwa yang terjadi di biara atau karya sehingga peristiwa itu tidak hilang begitu saja.”
Mengakhiri presentasinya, penggemar musik jazz ini mengajak agar dari kalangan biara susteran semakin banyak muncul para suster penulis yang menyukai dunia jurnalistik. “Semakin sering menulis dan tulisannya bisa naik tayang, maka kegiatan yang dulu mungkin menjadi beban kini menjadi hal yang menyenangkan plus memberi manfaat banyak orang dengan informasi yang diberikan,” terang penyuka wisata mandiri ini.
Suster penulis juga perlu bergaul dan berteman dengan para jurnalis dari media mainstream baik yang bermain di jalur cetak maupun online. “Jaringan pertemanan dengan kalangan media serius itu perlu dan penting,” tegasnya.
Apreasiasi Suster Provinsial
Ucapan terima kasih disampaikan dari para suster SFIC yang diwakili oleh Provinsial SFIC Sr. Irene atas kesediaan Mathias Hariyadi berbagi pengalaman kepada para suster.
Suster Provinsial SFIC juga menyampaikan pesan sekaligus imbauan kepada para suster bahwa ketika para suster ingin mempublikasikan apa pun di media sosial perlu sikap bijak. “Saring dulu, sebelum sharing,” kata Sr. Irene SFIC.
Sr. Irene mengatakan, presentasi aktualia di bidang politik kekinian, alam pikir Generasi Millenial, dan dunia medsos itu sangat baik dan perlu diketahui. Bukan hanya untuk para suster yang masuk Generasi Millenial saja, tetapi juga untuk para suster yang senior yang hidup pada ‘era’ berbeda ketika aneka gawai pintar dan medsos belum merajalela seperti sekarang ini.
“Kita tidak bisa menghindari dan menutup mata akan kemajuan teknologi yang begitu pesat saat ini. Dampaknya bermacam-macam – baik positif maupun negatif – maka para suster harus memiliki sikap bijak dan selektif dalam menggunakannya,” ungkap Sr. Irene SFIC. (Selesai)
Bersama Sesawi.Net, Suster SFIC Pontianak Diajak Melek Teknologi Informasi dan Bijak Main Medsos (1)