Bersihkan Rumah Doa dari Konflik Kepentingan

0
672 views
Ilustrasi: Ruang Adorasi Paroki Katedral Malang. (Esti KTM)

Jumat, 19 November 2021

  • 1Mak. 4:36-37.52-59.
  • Mzm.1
  • Taw. 29:10-12d.
  • Luk. 19:45-48

RUMAH tidak sekadar tempat berteduh. Rumah tempat kita bisa menemukan “hidup baru”, setelah seharian berjuang di area umum, entah di kantor, atau tempat lainnya.

Rumah itu sangat penting dan bermakna, karena merupakan tempat kita bertolak pada pagi hari dan pulang pada malam hari.

Itulah sebabnya, orang lalu ingin menata rumahnya senyaman mungkin agar betah.

Setiap orang mempunyai gambaran ideal tentang rumah. Itulah yang membuat orang kangen rumah, setelah lama di luar rumah.

Secara rohani, kita juga punya rumah doa; tempat jiwa kita mencecap pengalaman kebersamaan dalam Tuhan dan sesama

Tempat yang kita rindukan, khususnya ketika kita merasa lelah dan mengalami kebuntuan manakala sedang bergulat mencari makna kehidupan.

“Saya malu jika melihat apa yang telah aku lakukan pada Gereja,” kata seorang bapak.

“Gereja tidak salah, tetapi saya jauhi dan tidak saya pedulikan bahkan saya musuhi,” lanjutnya.

“Konflik itu terjadi antar kami para umat, tetapi lalu kami membabi buta, hingga menutup hati untuk tidak lagi ke Gereja” ujarnya.

“Lama saya mengambil jarak dengan gereja, meski di dalam hati sering muncul kerinduan untuk kembali atau sekadar datang duduk di dalam gereja,” lanjutnya.

“Namun semua mata umat seakan tertuju padaku dan mengamati kehadiranku di dalam gereja,” katanya.

“Apa lagi ketika umat menyapa, tumben ke gereja Pak? Sakit sekali mendengar sapaan itu, yang mungkin disampaikan karena ingin sekadar menyapa,” katanya lagi.

“Saya baru benar-benar kembali ke gereja setelah sering mendapat kunjungan dari romo, lalu mulai ikut pertemuan lingkungan, dan ketika umat yang hadir tidak lagi bertanya, kapan saya gereja,” ujarnya.

“Perlu waktu lama untuk membagun kerendahan hati dan membuang ego hingga berdamai dengan hatiku, dengan orang-orang yang pernah konflik denganku,” katanya.

“Gereja pun terasa berubah dan lebih ramah, lebih hangat dan tidak ada lagi blok-blokan seperti dulu,” lanjutnya.

Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar.

“Lalu Yesus masuk ke Bait Allah dan mulailah Ia mengusir semua pedagang di situ.

Kata-Nya kepada mereka: “Ada tertulis: Rumah-Ku adalah rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun.”

Yesus marah karena rumah Bapa-Nya, rumah doa tempat perjumpaan antara manusia dengan Tuhan telah berubah rupa dari rumah doa menjadi sarang penyamun.

Tempat orang mencari untung dan membisniskan kebutuhan agama.

Yesus bertambah marah, karena baik umat maupun imam sepertinya merasa tak ada yang merasa bersalah.

Mereka menjalankan praktik jual beli binatang kurban sebagai sebuah tranksaksi yang wajar bahkan merasa saling menguntungkan.

Padahal di mata Yesus, mereka tak lagi menghormati kekudusan Tuhan. Itulah sebabnya Yesus mengusir semua pedagang di Bait Allah itu.

Bagaimanakah dengan diriku?

Apakah aku masih menjaga dan terus memelihara kekudusan Rumah Tuhan? 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here