Bertemu Mantan, Awalnya Berat Hati tapi Lalu Senang Sekali

4
467 views
Ilustrasi - (Ist)

BAPERAN – BAcaan PERmenungan hariAN.

Senin, 25 Oktober 221

Tema: Tertatih-tatih.

  • Rm..8: 12-17.
  • Luk. 12: 10-17.

TERASA dekat, aman dan nyaman. Itulah yang dialami, bila orang berdoa dalam Roh.

Hanya melalui dan di dalam Roh, kita dapat berdoa kepada Allah sebagai Bapa dalam sebuah kesatuan yang suci.

Ia tidak jauh, tapi dekat. Sangat dekat. Seakan-akan ada di samping, dihadapanku. Rasa jiwa pun tenang dan hening.

Menyatu dalam keheningan suci. Ia begitu mempedulilanku.

“Mo, kenapa sih, saya selalu mengulangi hal yang sama.  Saya tahu, itu tidak baik; bisa mengarah pada dosa. Saya kadang tidak mengerti diri saya sendiri, tidak sadar. Tidak mampu tegas,” keluh seorang umat di paroki.

“Wah… ini kesaksian dan pengalaman manusiawi betul. Ada gerangan apa?”

“Saya sudah berkeluarga. Keluarga kami baik-baik. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.  Isteriku, baik. Ia sungguh menjadi ibu rumahtangga yang setia; merawat kami dengan  sahaja. Saya mencintainya.

Anak-anakpun baik. Mereka dapat dibanggakan. Dari segi pendidikan, nilai tidak mengecewakan. Perilaku anak rata-rata baik. Mereka masih mau mendengarkan dan nurut pada perkataan kami. Dalam banyak hal kami mengalami kebahagiaan.

Masalah muncul romo. Suatu saat mantan menelepon dan ingin bertemu. Saya memberitahu isteri untuk bicara dengan dia yang juga  temannya dulu.

Mereka saling berbicara. Dari wajah isteri saya tidak ada kesan marah atau apa. Juga tidak cemberut. Itu pengamatan saya,” kisah panjangnya dimulai di sini.

“Nanti, kalau dia telepon, mami saja yang bicara. Saya tidak mau. Saya tidak mau urusan lagi. Mami yang atur kalau dia memerlukan sesuatu. Asal jangan diundang ke rumah kita. Saya tidak mau,” kataku.

“Ya nggak apa-apalah Pi. Yang penting papi oke, setia pada kita. Boleh kok menerima telepon dia, asal tidak macam-macam. Mami peka loh sebagai perempuan,” kata isterinya mengingatkan.

“Awas aja,” selanya.

“Suatu saat dia ingin ketemu. Awalnya saya menolak secara halus dengan alasan padat pekerjaan. Lain kali dengan alasan harus pulang cepat ke rumah. Berkali-kali selalu mengajukan alasan yang masuk akal dan memang itu terjadi.

Setahun kemudian ia mengontak ingin berjumpa. Dan berjanji tidak ada maksud apa-apa.

Saya mengiyakan dan membawa serta isteri. Agak kaget dia. Saya hanya bicara sebentar lalu, saya tinggalkan mereka dengan membeli sesuatu.

Saya tidak tahu pembicaraan mereka, tetapi sepulang dari perjumpaan itu isteri saya bilang kasihan dia. Saya sudah membantu sedikit tadi, Pi.

Syukurlah mami mengerti,” kata sang suami spontan.

“Namun, hati saya mulai terusik. Saya lalu mengenang masa lalu. Dialah cinta pertama. Orangtuanya tidak setuju. Kami putus. Lebih tepatnya harus diputuskan.

“Masalahnya di mana?”

“Hati terusik. Jiwa merasa kasihan. Dalam benak ada gerak membantu lebih,” jelasnya.

“Wah itu bagus. Apalagi bantuannya melalui isteri,” kata saya.

“Justru itu yang menjadi masalah, Mo. Kadang ingin bertemu, tanpa sepengetahuan isteri. Dia pun sudah mengisyaratkan demikian.

“Nah ini yang tidak baik. Bisa menjadi celah keruntuhan rumahtangga. Gerak awal menduakan hati. Walau bisa bermain dengan beribu alasan dan topeng pembenaran diri,” tegasku.

“Iya romo. Saya sadar. Saya tahu. Tetapi tidak  gampang menolak dengan tegas. Ini, masalahnya Romo.

Tanpa sepengetahuan isteri, kami berapa kali bertemu. memang belum sampai melakukan hal-hal yang tidak baik. Tapi lama kelamaan rasanya kami lebih berani. Dan ia menuntut untuk bertemu. Saya tak sanggup menolak, hanya mengiyakan. Kami tidak ketemu di tempat yang ramai.

“Sebaiknya berani belajar tegas. Jangan lakukan. Ajak istrimu,” imbauanku.

Tiba-tiba, bapak itu mulai menangis.

“Susah lepas, Mo.”

Berani melupakan. Belajar tidak lagi menanggapi.

Ia diam. Berkali-kali mencoba mengerti. Menata hati. Meluruskan nalar. Melepaskan mantan. Menepis kenangan.

“Ada surga di rumahmu. Di dalam keluargamu,  dalam relasi kasih dan ikatan kesetiaan,” kataku.

Paulus menasehati.

“Jadi, saudara-saudara, kita adalah orang berhutang, tetapi bukan kepada daging, supaya hidup menurut daging. Tetapi jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup. Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah.” ay 12, 13b, 14.

Tuhan, jaga dan kembalikanlah aku pada surgaku. Keluargaku. Amin.

4 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here