SEBAGAI orang yang sempat mempelajari aliran-aliran besar ateisme di bangku filsafat, saya pun terpesona akan gagasan mengenai ateisme dari para bapa besar ateis: Ludwig Feuerbach, Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud dan Karl Marx. Hingga sekarang saya menaruh hormat terhadap para bapa itu karena mereka orang-orang yang serius dengan kritik terhadap praktik dan ajaran agama beserta agamawan yang turut bertanggungjawab atas realitas (ketidakadilan dan penyakit) sosial.
Hingga saat ini pun, pada hemat saya, ateisme hanya akan menarik jika dikaitkan terhadap kritik itu. Pembicaraan mengenai ateisme tak relevan dan berguna jika tidak bicara juga mengenai peran agama dan atau iman dalam masyarakat dunia.
Ateis hanya soal gaya atau?
Kesan itu pula yang jelas tertangkap dari ungkapan teman-teman ateis yang saya jumpai. Mereka alergi dan emoh terhadap semua yang berbau agama, iman dan ritualnya, dan kadang menyertakan label pada agama dan agamawan sebagai: fanatik, munafik, sok suci, cenderung violent dan memaksakan kehendak pada yang berbeda keyakinan.
Akan tetapi amat sangat jarang teman yang saya jumpai mendasarkan ateisme mereka pada pengalaman kebencian luar biasa akan Tuhan dan penolakan habis-habisan akan keberadaan Allah pencipta dan penyelenggara kehidupan.
Untuk teman yang ateis alay, ateis hanya untuk keren-kerenan dan ungkapan pencarian jatidiri, mungkin saya tidak merasa perlu bereaksi dan menganggapnya serius. Anggap saja itu bagian dari pertumbuhan pribadi.
Namun untuk teman yang ateis sungguhan, menurut saya reaksi paling sehat dan win-win baik untuk dia dan saya adalah dengan menganjurkannya untuk tetap menabrakkan keyakinannya dengan realitas semesta yang dialami.
Baik orang ateis maupun orang beriman pasti tak akan kekurangan bahan untuk menabrakkan keyakinan pada realitas, entah realitas ketidakadilan, realitas kejahatan, realitas penderitaan di sekitar.
Bagi dia tabrakan itu perlu dan penting untuk tahu batas-batas kemanusiaan dan memberi ruang tak terbatas pada yang melampaui yang terbatas atau yang transenden. Buat saya sendiri, perjumpaan dengan para hardcore ateis ini juga akan menguji kualitas iman sebagai jawaban saya atas sapaan Allah yang terus menerus dalam kehidupan.
Jika sang ateis beneran dan saya yang mau beneran beriman terus bertekun dalam pencarian nilai hakiki manusia dan semesta mungkin dan jangan-jangan kita akan berjumpa di suatu titik tertentu.
Cerita Injil
Ketika menulis refleksi ini, saya teringat cerita injil ketika Yesus berada ditengah-tengah kerumunan orang banyak. Ada banyak orang bersentuhan dengan dia, namun hanya satu dari orang itu, dialah sang wanita yang mengalami sakit akut pendarahan, yang mengalami mukzizat penyembuhan. Rupanya sikap iman si wanitalah yang menjadi penentu yang membuat rahmat Allah mampu berdayaguna mengingat fakta bahwa banyak orang lain pun bersentuhan dengan rahmat Allah itu.
Dengan refleksi ini, saya hanya mau bilang bahwa saya mungkin akan memberi tanggapan lebih baik terhadap teman ateis pada kesempatan lain. Tanggapan yang pasti saya peruntukkan untuk teman ateis alay nan galau yang menjadi ateis untuk gaya-gayaan saja: Ih, lo malu-maluin ateis beneran aja! (Selesai)
Artikel terkait: Bertemu Kawan Ateis (1)
Jika saya percaya Tuhan tetapi saya tidak percaya dengan pemimpin agama dan saya tidak percaya dengan hukum gereja…apakah dengan demikian saya dianggap ateis ??
@badee: terima kasih sudah membaca. Saya kira yang lebih penting adalah anggapan Anda terhadap diri Anda. Salam. (dmr)
Apakah keunggulan Atheis dibandingkan Theis :
1. Yang Atheis murni,sangat jarang namun biasanya sangat pandai dan memahami pemikirannya;jujur ; mereka manusia sejati , bercita cita mengabdi kepada manusia , mereka menjadi pemimpin atau pemikir yang hebat dan bersih .
2. yang mengaku Theis begitu banyak , sampai tak terhitung namun sangat jarang yang ber otak dan sebagian besar tidak jujur dan malas berfikir ; mereka sibuk dengan doa 2 , ibadah serta liturgi , mereka rajin teriak melayani Tuhan atau menjadi Balatentara surga , tetapi tetap saja tidak sadar ; keinginan mereka sangat bertentangan dengan kehendak Tuhan ; dunia ini menjadi rusak karena kelakuan Theis 2 ini ( karena Theis 2 ini umumnya Theis PALSU )
Salam kenal. Saya baru baca dua artikel anda tentang teman ateis. Saya sangat penasaran tentang definisi anda tentang ateis. Ini sangat penting sebab menentukan semua pembicaraan yang akan terjadi.
Apakah menurut anda ateis adalah orang yang:
1. tahu bahwa tuhan tidak ada
2. percaya bahwa tuhan tidak ada karena pengetahuan yang dia miliki
Terima kasih.
@Abdi Christia: Terima kasih sudah membaca dan salam kenal juga. Imho, kawan ateis tidak mau tahu tuhan ada atau tidak sehingga karena mereka umumnya tidak terlalu peduli klaim atas pengetahuan maka masalah percaya atau tidak tidaklah relevan. Salam (dmr)
@mas Paulus Sutikno Panuwun: Terimakasih atas komentarnya. Saya hargai penilaian Anda atas keunggulan ateisme terhadap teisme. Jika sempat silakan membaca buku: Aliran-aliran Besar Ateism: Tinjauan Kritis karya Pater (alm) Prof. Dr. Louis Leahy SJ, terbitan Kanisius, mungkin Anda akan menemukan kritik yang patut disimak terhadap Ateisme. Salam. (dmr)
Trims mas Admin.
Mengkritik atheis saya tidak berani , namun mengkritik diri sendiri dan para sahabat sudah jadi kewajiban bagi saya, saya menganggap sebagai cara terbaik mengikuti Yesus ,sadar dulu bahwa kita orang berdosa .
Boleh jadi ini urun rembug dengan mas Abdi.
Karena ingin tahu mengapa teman 2 kita di barat pada check out dari Gereja bahkan umumnya akan lebih tertarik pada spiritualitas universal yang sejatinya adalah Spiritualitas tanpa Tuhan (Andre Compte ) ; dari buku tsb masalah Atheis dan Theis ini sedemikian ruwet. Saya hanya menyadari banyak dari mereka (juga si Andre ) yang eks Katolik menjadi berubah (seolah menjadi Atheis )karena pemikirannya, perenungan yang mendalam dan mencoba jujur , akhirnya menuntun mereka kearah Spiritualitas tanpa Tuhan. Dan satu hal saya sadari , ini juga tidak terlepas dari kesalahan kita yang Theis tapi umumnya tidak care untuk mengikuti jalan salib Yesus dan terus tidak sadar kalau jalan hidupnya bertentangan dengan kehendak Tuhan .
Wah saya baru tahu ada tanggapan. Mungkin admin bisa menambah fitur agar komentar baru diberitahukan lewat email?
Ada satu faktor utama yang berhubungan dengan keluarnya orang dari agama, menurut saya itu adalah pengetahuan. Isaac Newton adalah orang jenius yang mampu menjelaskan pergerakan planet di tata surya secara matematis, tapi ada faktor lain yang belum bisa dia jelaskan saat itu, maka dia menyerahkannya pada “Tuhan”. Laplace kemudian menyempurnakan penjelasan matematis Newton, dan ketika Napoleon Bonaparte bertanya padanya, “Di mana letak Tuhan dalam penjelasan anda?” dia menjawab, “Saya tidak membutuhkan hipotesis itu, Tuan.”
Kita membutuhkan “Tuhan” ketika kita tidak dapat mengerti dan menjelaskan sesuatu dengan utuh. Dulu manusia butuh “Tuhan” untuk menjelaskan berbagai fenomena alam seperti penyakit, cacat lahir, gempa, gunung meletus, dll. Sekarang tidak. Anda bisa melihat studi Paul, G. 2009. di alamat ini: http://bit.ly/STrLEa. Studi itu menunjukkan tingkat kepercayaan terhadap “Tuhan” memiliki korelasi negatif dengan mutu pendidikan dan kesejahteraan masyarakat secara umum. Kesimpulan kasarnya begini, bila kita ingin orang percaya “Tuhan” maka buatlah mereka miskin, bodoh, dan merasa tidak berdaya dalam hidup. Kesejahteraan dan pendidikan yang baik, terutama pendidikan sains, adalah kunci untuk membebaskan diri dari indoktrinasi agama tentang “Tuhan”.
Mas Abdi . Saya senang dengan ulasan anda berhubungan dengan Tuhan dan ilmu pengetahuan . Saya sendiri mencoba mendalami nya secara spiritual dengan mendengarkan Manusia2 Agung : 1. Yesus .
2. Budha dan 3. Lao Tse ( dalam Bukunya Tao Te Ching ). Ketiganya mempunyai kemiripan akan adanya Tuhan . Hanya Yesus yang mengenal Tuhan dan memperkenalkan sebagai Bapa . Budha ; saya rasa memikirkan Tuhan ada dalam segala sesuatu ; dan : ” Tuhan dalam pikiran manusia pastilah bukan Tuhan ” ; ini karena sedemikian tidak berartinya pikiran manusia dan sedemikian besar dan tak terhingga nya Alam semesta ini , apalagi sang Pencipta. Lao Tse begitu mengagumi alam semesta dengan keseimbangan , dan pastilah ada Tao ; yaitu asal dari segala sesuatu ; dikatakannya Ibu dari segala Ibu .
Hanya satu yang saya yakini ; bahwa para manusia agung ini mengajarkan kita untuk mengagumi alam semesta dan memelihara kalau kita percaya kepada Tuhan ( Tao ) ; Bahkan saya percaya bahwa mereka yang Atheis sejati pun sangatlah mengagumi Alam Semesta ini . Dengan mengagumi ciptaan (atau bukan bagi Atheis) ; sejatinya kita sudah hidup berbahagia secara spiritual ; kita bisa mengasihi juga sesama manusia dan memelihara dunia ini seperti semula ; tetap mengagumkan . Namun lihatlah apakah dunia theis tidak merusak dunia dengan ekonomi casino nya ( begitulah kata Theology Pembebasan ) ; apakah kasih Allah yang sempurna yang diberikan lewat Cahaya Matahari ; hujan dan udara segar seperti kata Yesus akan tetap kita nikmati ; ataukah akan segera lenyap .