MINGGU PRAPASKA 5, C; 17 Maret 2013
Yes. 43:16-21; Flp. 3:8-14; Yoh. 8:1-11
Kisah perempuan berjinah hari ini, mencerminkan perbedaan Allah dan manusia. Perempuan itu tertangkap basah waktu berjinah. Menurut hukum Taurat, Im. 20:10 dan Ul. 22:22-24 menyatakan bahwa baik laki-laki dan perempuan yang berbuat jinah, harus dihukum mati. Orang Parisi yang menangkap perempuan itu, mau menjebak Yesus dengan Hukum Taurat.
Tetapi mereka tidak membawa laki-laki, teman berjinah perempuan itu. Jadi ada manusia berdosa yang tertangkap basah melakukan kesalahan. Ada manusia berdosa yang memanipulasi hukum demi kepentingan mereka sendiri dan ada Yesus manusia yang bersih dari dosa. Jawaban Yesus, yang tidak berdosa hendaklah yang pertama melemparkan batu untuk merajam perempuan itu, adalah jawaban cerdas.
Hukum tidak dibantah, tetapi lihatlah ke dalam. Dan Yesus sebagai manusia yang tidak berdosa, malah tidak mau melemparkan batu sama sekali. Tetapi kepada perempuan itu, Yesus menegaskan: Aku tidak menghukum engkau, pergilah, jangan berbuat dosa lagi. Perempuan itu memang salah, tapi diberi kesempatan untuk bertobat.
Masa Prapaskah adalah saat untuk bertobat, saat untuk mengalami lagi kasih Allah, bukan demi kepentingan pribadi kita, tetapi demi kemajuan hubungan kita dengan Allah. Allah yang mahaadil adalah mahakasih juga. Kita biasa berharap akan kasih dan keadilan Allah, demi kepentingan kita sendiri. Tetapi kita sering lupa akan kesalahan dan dosa kita.
Sekarang ini kita diajak melihat, betapa Allah itu penuh kasih dan keadilan. Dia tahu dosa-dosa kita, tetapi tidak memasalahkannya, bahkan memberi kita kesempatan untuk bertobat.
Bertobat tentu berarti tidak berbuat dosa lagi, seperti pesan Yesus. Tetapi kita tahu, banyak kali, kita jatuh dalam dosa-dosa yang sama. Apakah itu artinya kita tidak/belum bertobat? Dalam kesalahan besar, seperti berjinah dan tertangkap basah, orang lebih mudah bertobat dan tidak mengulanginya lagi. Ada unsur ‘kapok’ yang membantu pertobatan total itu. Tetapi jika tidak ketahuan, apakah pertobatan total itu mudah? Belum tentu.
Banyak diantara kita masih mengulangi dosa-dosa lama kita. Kita masih berdosa secara ‘tidak kreatip’, melakukan dosa yang itu-itu juga. Apakah ini berarti kita belum bertobat? Belum tentu juga. Ada dosa yang sekali terjadi. Misalnya: seorang anak yang begitu marah kepada orang tuanya, sehingga ia mengucapkan kata-kata yang kasar dan kurang ajar. Dosa ini mudah ditobati dan tidak diulangi lagi.
Ada dosa ‘ikut pandangan umum’. Seorang anak yang biasanya jujur, karena takut dapat nilai jelek, terpaksa ikut nyontek, seperti teman-temannya. Ini dosa yang sesekali dibuat, karena takut atau karena cari untung. Dosa seperti ini juga tidak sulit ditobati dan dihentikan. Tetapi ada dosa yang terjadi akibat kebiasaan, sehingga sudah menjadi ‘habit’. Tidak bisa tanpa melakukan hal berdosa itu.
Banyak dosa rutin terjadi karena pembiasaan. Malas berdoa, masturbasi, bohong, mencuri, dll.dsb. bisa juga dosa-dosa yang lebih serius: selingkuh, korupsi dll. Seperti perempuan berdosa itu, kalau ada hal yang mengejutkan; perempuan itu harusnya mati dilempari batu, ternyata mendapat kesempatan hidup. Pasti rasa syukur dan ‘kapok’ akan membuat dia bertobat secara sungguh-sungguh. Tetapi kebanyakan dari kita hidup dalam situasi biasa-biasa. Kita berdosa dalam situasi biasa, bertobat juga dalam situasi biasa. Apakah kita sungguh-sungguh ingin berhenti dari kedosaan dan kesalahan kita?
Seorang bapak menemui sang guru dan mengeluh: “Kami hanya punya 1 kamar; dengan istri dan 4 anak kami tinggal bersesakan di rumah. Selalu ada keributan dan pertengkaran; tidak ada kedamaian sejenak saja. Saya sudah tidak tahan lagi. Apa yang harus saya lakukan?” Sang guru bertanya: “Apakah kamu akan menuruti semua petunjukku?” “Apa saja akan saya lakukan, asal saya dapat bebas dari persoalan ini.” “Kamu punya ternak?” “Ada seekor sapi, dua ekor kambing, sepasang angsa dan beberapa itik.” “Masukkan semua dalam rumahmu.
Seminggu lagi datang kembali kepadaku.” Bapak itu heran. Tetapi karena ingin sekali keluar dari masalahnya, ia menuruti perintah sang guru. Seminggu kemudian ia datang lagi. “Saya tidak tahan lagi. Sesak, kotor, bau, semua berteriak, ribut, berkelahi. Saya mau mati saja.” Sang guru memberi perintah: “Keluarkan semua ternakmu dari rumah.” Bapak itu pergi dan melakukan yang diminta. Sejenak kemudian ia kembali lagi ke rumah sang guru. “Rumah saya lega, bersih dan tenang. Oooh, alangkah damainya.” _
Hidup baru mungkin sekedar menyadari apa yang tidak kita sadari dari hidup kita yang lama. Rumah yang ribut bersama istri dan anak, seminggu kemudian terasa tenang dan lega, sesudah binatang yang kotor, bau dan ribut dikeluarkan. Sesudah sakit, saya berhenti merokok, karena membahayakan kesehatan; sebuah pengetahuan yang sudah lama saya ketahui. Bertobat berarti menemukan kembali jalan kebenaran dan kasih yang ditanam Allah dalam hati kita.
Kehidupan sehari-hari, kesalahan dan kelalaian kita seringkali menjauhkan dan membelokkan kita dari jalan kebenaran dan kasih itu. Bertobat berarti mengambil keputusan untuk kembali pada jalan itu; menegaskan langkah untuk berbalik dari jalan yang salah dan mulai kembali usaha berjalan lurus.
Apakah dengan demikian kita dapat dikatakan sungguh-sungguh bertobat? Bukan kah kita hanya mengulangi usaha lama dan akan gagal lagi? Dosa-dosa yang kita lakukan, bukan dosa sekali dibuat lalu tidak pernah dilakukan lagi. Dosa kita adalah pengulangan sebuah tindakan yang seringkali menjadi kebiasaan buruk yang nyaman kita lakukan.
Maka pertobatan kita lebih banyak berupa penegasan kembali bahwa tindakan itu salah dan kita mau berusaha terus dan lagi. Dan pada waktunya; entah karena pertumbuhan kedewasaan kita atau situasi yang berubah atau karya istimewa dari Tuhan sendiri, kita berhenti melakukan dosa-dosa itu.
Pada awal tahun saya membuat resolusi: Hidup sehat, hidup baik dan hidup suci. Masa prapaskah adalah kesempatan baik untuk mewujudkannya. Tetapi saya temukan bahwa saya masih jauh dari pelaksanaan ketiga hal itu. Saya seumpama orang tenggelam yang mencoba untuk naik ke permukaan. Tetapi usaha saya tidak berhasil. Tetapi Yesus sendiri yang menarik saya ke permukaan.
Dia yang bangkit, mau membangkitkan saya juga. Yang saya temukan, mungkin saya belum siap dan belum layak untuk merayakan Paskah, jika dilihat dari usaha dan hasil yang saya dapatkan. Tapi Kristus yang bangkit, mau merayakan Paskah bersama saya. Penemuan ini, membangkitkan rasa syukur yang lebih besar dalam diri saya. Semoga sesudah Paskah, perjuangan saya dapat saya teruskan dengan usaha dan niat yang lebih besar.
Bagaimana dengan anda? Apakah anda sudah berhasil bertobat, tidak berbuat dosa lagi? Jika belum, jangan putus asa. Allah tidak datang untuk menghakimi kita, tetapi untuk menyatakan kasihNya kepada kita. Kristus menderita bagi kita bukan untuk memaksa kita menjadi baik. Ia menderita dan wafat untuk memberi kita kesempatan untuk mengalami KasihNya dan tumbuh dalam kasih itu, sehingga kita terdorong dan tertarik untuk mencoba hidup lebih baik dalam kasihNya. AMIN.