Bertolaklah ke Tempat Lebih Dalam (2)

0
2,109 views

[media-credit name=”montagneministries.com” align=”alignleft” width=”300″][/media-credit]MENJELANG hari-hari memutuskan niat ke Palangkaraya, lagi-lagi saya terantuk kesan mendalam oleh motto Uskup Bandung waktu itu –Monsinyur Pujasumarta Pr—yang mengatakan Duc in Altum yang artinya “Bertolaklah ke tempat yang lebih dalam”.  Sebuah perikop Injil tentang keraguan para Murid terhadap Yesus sebagai Anak Allah hingga Yesus sedikit “menantang” mereka agar bertolak ke perairan yang lebih dalam …dan mereka akhirnya mendapatkan apa yang mereka harapkan sebelumnya: kebesaran Tuhan!

Sejenak saya berpikir nakal.

Wow …dasar orang suka othak-athik gathuk alias suka merajut jalinan cerita berbeda-beda untuk kemudian disimpulkan setelah terlebih dahulu dicocok-cocokkan.

Jujur saja, suasana kebatinanku saat itu seperti itu. Setelah enam tahun berkutat di sebuah tempat pelayanan sosial, maka kini saatnya saya “bertolak ke tempat yang lebih dalam” (Duc in Altum!) guna mencari makna hidup untuk diri saya sendiri. Palangkaraya menjadi destinasi saya untuk bertolak menuju perairan yang lebih dalam itu.

Di Kalimantan, saya hanya tinggal empat bulan karena selanjutnya saya ditugaskan kembali ke Semarang selama enam bulan dan berikutnya ke Yogyakarta selama 13 bulan. Kalau dirunut ke belakang, mutasi-mutasi tugas seperti ini tak lebih sebuah “persiapan batin” yang disediakan Tuhan untuk saya agar saya menjadi siap untuk tugas perutusan lain. Tuhan telah menetapkan waktu yang terbaik untuk saya.

Benarlah, segala sesuatu menjadi indah tepat pada waktunya. Kantor saya mengirim saya untuk tugas kerja di Pontianak. Sebagai karyawan, tentu saja saya tak bisa menolak penugasan kantor. Sejenak saya sempat dilanda keraguan dan kegamangan. Untunglah ada teman seperjalanan.

Benar juga. Pontianak menjadi tempat penggonjlokan iman bagiku. Sering sekali saya harus bertolak ke tempat yang lebih “dalam” menuju pelosok-pelosok desa, jauh dari pusat kota. Sekali waktu, saya mendapat tugas di Singkawang, Sambas hingga desa-desa di perbatasan Serawak-Kalimantan Barat. Ke sanalah, Tuhan mengutus aku “ke tempat yang lebih dalam” untuk mewartakan kebaikan Tuhan. Di sana saya memperjuangkan kemanusiaan dan harkat hidup manusia. Terutama hak hidup dan pelayanan sosial bagi anak-anak difabel.

Suka cita rohani

Melayani adalah sebuah kegembiraan hati. Dan saya merasa bahagia karena bisa mengalami pengalaman rohani seperti ini. Namun dalam pelayanan, ada juga pengorbanan. Saya harus rela mengorbankan “masa lalu” yang berderai oleh keceriaan dan keriuhan anak-anak di Semarang yang pernah membuat hidup saya terasa membuncah riang.

Sejenak, kadang aku dibuat bimbang: berlanjut terus berkarya di “tempat yang lebih dalam” atau kembali ke masa silam yakni berkarya di tempat masal lalu dimana suka cita rohani lebih berperan.

Ada nuansa keraguan. Sejenak tawar-menawar bergolak dalam diriku. Sedetik kemudian saya menjadi sadar, kalau saya baru saja melakukan “tawar-menawar” dengan Tuhan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here