Puncta 01.09.22
Kamis Biasa XXII
Lukas 5: 1-11
SEPEKAN kemarin kami berkunjung ke Paroki Tanjung di Ketapang. Kami menyapa teman yang bertugas di pedalaman. Priests visit priests.
Kami berangkat dari Keuskupan Ketapang pukul 10.00 pagi. Tiba di Tanjung sudah pukul 20.00. Malam sudah gelap.
Perjalanan habis di daerah Mahawa yang medannya rusak parah. Ada banyak mobil kecil amblas di jalan penuh lumpur. Tak bisa bergerak.
Berjam-jam kami antri supaya mobil satu per satu bisa tembus. Jarak tempuh sebenarnya tinggal 15 km saja sampai di Tanjung. Tetapi karena jalan hancur kami menunggu berjam-jam sampai hari gelap.
Setelah sampai di paroki, kami disambut Fr. Gusti yang jaga rumah. Romo Krisno sedang ada misa di stasi malam itu.
Dia pulang ke pastoran kehujanan, karena hanya naik sepeda motor. Hari gelap, hujan deras, jalan buruk adalah menu harian yang harus dijalani.
“Kamu jauh-jauh, susah-susah ke pedalaman seperti ini mau cari apa ta Kris?” tanya seorang romo yang belum pernah bermisi ke luar Jawa.
“Masih ada tempat yang lebih sulit dan menantang dari sini,” Romo Krisno menjawab dengan senyum ceria.
Umat di pedalaman masih sangat membutuhkan warta keselamatan. Kita harus berani diutus ke tempat-tempat yang dalam demi keselamatan jiwa-jiwa. Jangan hanya berpikir cari enak-enak, merasa cukup di tempat sendiri. Tidak mau diutus ke tempat yang dalam di luar keuskupan.
Begitulah kesimpulan perbincangan kami malam itu, sambil minum tuak dan makan kimpul rebus.
Injil hari ini menyiratkan agar para murid berani bertolak ke tempat yang dalam. Yesus menyuruh Simon untuk menangkap ikan. “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan.”
Kalau kita hanya pergi ke tempat dangkal, kita tidak akan mendapat apa-apa. Paling-paling ikan “uceng, cethul,” wader atau ikan kecil lainnya.
Tetapi kalau kita berani pergi ke tempat yang dalam, di sana ada ikan-ikan besar yang bisa ditangkap.
Selama setahun berkarya di Tanjung, Romo Krisno sudah membaptis hampir 800-an anak, membereskan banyak pasangan perkawinan. Itulah gambaran laut yang dalam.
Saya di Cawas, setahun tidak sampai 20 anak yang dibaptis. Memberkati perkawinan setahun bisa dihitung dengan jari.
Dengan medan yang sulit, tantangan yang berat, ombak dan badai di laut yang dalam juga bisa menghasilkan nahkoda yang handal.
Alam akan mendidik kita menjadi imam yang tangguh, kuat dan “mrantasi”. Tidak mudah mengeluh.
Sedang laut yang dangkal, tenang justru membuat kita menjadi imam yang manja, loyo, malas, “kakehan alesan lan sak kepenake dewe.”
Imamat kita itu dari Yesus, bukan jerih payah kita sendiri. Kalau menganggap imamat itu hasil usaha kita, pengalaman Petrus akan menjelaskan. “Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa.”
Bekerja hanya menuruti kemauan sendiri, “sak kepenake,” tidak akan menghasilkan apa-apa. Tetapi Yesus menyuruh kita bertolak ke tempat yang dalam untuk menebarkan jala.
Yesus yang punya kuasa mengutus, tidak perlu ada tawar menawar. Dia yang mengutus, Dia yang akan mengurus.
Mari berani diutus bertolak ke tempat yang dalam?
Berani bertolak lebih dalam,
Agar bisa nangkap banyak ikan.
Jangan takut menjadi imam
Semua sudah diatur oleh Tuhan
Cawas, duc in altum…