RELIGIUS yang berintegritas adalah mereka yang menjalani hidup kesehariannya secara utuh, holistik. Juga yang mempunyai kesatuan antara cipta, rasa, dan Kkarsa. Pikiran, hati dan tindakan menjadi satu kesatuan serta bertindak secara konsisten.
Seorang religius dikatakan berintegritas, jika ia memilih hidup religius yang bebas; merasa senang dengan pilihannya serta berperilaku sesuai dengan pilihannya tersebut. Juga harus konsekuen dan konsisten dengan pilihannya.
Sedangkan spiritualitas dan integritas seorang religius adalah mempunyai iman yang mendalam, berjiwa reflektif, mampu bersyukur atas kehidupan dan panggilannya.
Ia sadar bahwa dirinya berharga di hadapan Allah.
Selain itu, ia juga mampu menghargai martabat dan harkat manusia; memiliki daya juang dan ketangguhan dalam menghadapi tantangan hidup, tidak mudah menyerah dengan keadaan serta memiliki kemauan untuk maju dan berkembang.
Seorang religius juga dituntut untuk rela berkurban dan melayani sesama dengan tulus hati dan kerendahan hati tanpa paksaan atau terpaksa.
Ia harus selalu bersikap positif terhadap diri sendiri dan terlebih orang lain serta terhadap perubahan yang terjadi di sekitarnya. Selalu sadar akan tugas pengutusannya sebagai seorang religius. Juga mampu mengendalikan diri, mengritik dan bersikap ugahari atau bisa menjalani hidup dengan jelas; tanpa distraksi-distraksi yang tak perlu.
Itu berarti langsung dan jujur dalam relasi dengan segala hal. Sederhana, walaupun memiliki banyak harta.
Efesus 1:3: Mereka adalah anak-anak Allah dan para ahli waris bersama-sama dengan Kristus (Roma 8:17). Dalam Kristus, orang-orang yang miskin sungguh menjadi kaya. Mereka bisa disebut sebagai orang-orang miskin yang kaya.
2Korintus 8:9: Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya.
Menjadi seorang religius juga harus mempunyai mental yang kaya. Proaktif, kritis, berintegritas, profesional, komunikatif, visioner, mental kerja keras, keseriusan dalam tugas, selalu berkembang, pantang mundur, pencipta program, pengaruh tinggi, energi positif dan selalu siap diutus kemana saja.
Yesaya 6:8: Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: ”Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?”
Maka sahutku: ”Ini aku, utuslah aku.”
Namun kata “Inilah aku, utuslah aku” kadang hanya panas-panas di bibir saja. Pembuktian atau wujud nyatanya sedikit sulit untuk dilakukan.
Lantas apa penyebabnya?
Jawabnya, karena kurang penghayatan hidup religius. Misalnya:
- Bisa jadi karena kualitas hidup religius; baik kepribadian maupun profesionalitasnya belum mampu memenuhi tuntutan zaman.
- Melihat suatu kedudukan, peranan, fungsi dan tugas sebagai status dan jenjang karir yang sulit dilepaskan tidak ada orang yang bisa menggantikan posisi saya. Belum tentu yang menggantikan bisa seperti saya.
- Membanggakan diri dengan pekerjaan dan karya yang dirintis sampai mengakar dan membuatnya tak mampu lagi mengambil jarak dari pekerjaan tersebut. Bisa dibahasakan sudah mendarah daging dan berakar,maka jadinya ya susah dicabut.
- Tertutup dan kurang mendengarkan, karena kerohaniannya dangkal, mengikuti kemauan diri sendiri, apa yang lebih disenangi ketimbang mencari kehendak Tuhan. Kesenangan diri lebih penting sekalipun tidak sesuai dengan gaya hidupnya. Tidak terbuka dengan situasi nyata, tidak mau mendengar kata pemimpin, tidak realistis dalam bersikap.
- Mencari popularitas dan prestasi akibat kelekatan pada kedudukan dan status. Agar supaya dilihat dan dinilai lebih wah dari orang lain.
- Sistem senioritas yang cenderung feodal menuntut haknya sebagai senior dan mudah tersinggung. Karena merasa dirinya lebih senior sehingga apa-apa ya mainkan status.
- Regenerasi membuatnya merasa terancam kedudukannya. Merasa khawatir ketika melihat ada yang lebih dari dirinya.
Berusaha menjadi ideal
Jika seperti ini, bagaimana dengan fungsi kaul yang diikrarkan?
Seharusnya, seorang religius harus bisa menempatkan fungsi kaul hidup dengan tepat, menerima konflik sebagai bagian yang wajar dari hidup bersama.
Berpegang pada Yesus Sang Pemanggil dan terus-menerus mengembangkan diri dalam hal yang positif, baik dan berkualitas.
Meningkatkan persaudaraan dan saling mendukung, serta bekerjasama.
Dalam hal ini, karakter religius harus benar-benar diasah kembali. Seorang religius harus mampu menghadapi realita hidup, tidak lari dari situasi hidupnya.
Belajar memahami dan menerima kebutuhannya dan mengintegrasikannya dengan nilai-nilai dan sikap panggilan.
Konsisten dengan diri sendiri dan sekitarnya, setia akan prinsif dasar panggilan (motivasi panggilan), autoderminasi, menghindari ketergantungan dengan orang lain dan bersikap fleksibel.