JIKA dibandingkan misalnya dengan kompleks Pertapaan Santa Maria Trappist di Rawaseneng dan Pertapaan Bunda Pemersta Trappistin di Gedono di kaki Gunung Merbabu, rasanya penampilan bangunan Biara Rubiah Karmelites “Flos Carmeli” di kota wisata Batu –tak jauh dari Malang ini— boleh dibilang sangat sederhana. Tidak ada hal yang mencolok di beberapa titik bangunan buatan tahun 1962 ini, ketika para rubiah generasi pertama mulai membangun kompleks pertapaan ini.
Baca juga: Biara Rubiah Karmelites “Flos Carmeli” Batu: Areal Misa Berseberangan (2)
Di bagian depan dan agak di posisi ketinggian, ada papan nama bertuliskan Biara Karmelites “Flos Carmeli” yang sekilas memang lebih menampakkan sosok asrama daripada sebuah pertapaan. Ini karena posisinya ada di sebuah jalan kampung dan ukurannya sangat lebar. Dibandingkan dengan pertapaan Trappist Rawaseneng dan pertapaan Trappistin di lereng Gunung Merbabu yang jauh dari keramaian, Biara Rubiah Karmelites “Flos Carmeli” ini ada di kawasan hunian penduduk.
Namun tidak ada banyak keramaian di kawasan permukiman ini, apalagi ketika kaki sudah masuk kompleks biara.
Apa adanya
Citarasa sederhana itu mulai tampak ketika memasuki kapel biara. Tidak ada hiasan berlebihan di sini. Kursi berbahan dasar kayu dengan sandaran lutut cukup empuk menjadi tempat duduk bagi umat. Sementara di bagian para rubiah, mereka hidup dalam ‘kotak-kotak’ kubikel dimana mereka duduk melambungkan pujian dan doa.
Cirikhas sederhana itu juga terjadi di altar. Hiasan bunga boleh dibilang ‘apa adanya’. Tidak ada hiasan aneka bunga mahal yang biasa menghiasi altar gereja-gereja paroki di Jakarta yang konon biasa menghabiskan dana jutaan sekali pakai dalam setiap pekan.
Ketika beberapa kali sempat sarapan, makan siang, dan makan malam di sini, maka kesederhanaan itu juga mengemuka. Semua menu masakan khas rumahan.
Tapi justru kesederhanaan seperti inilah yang memberikan kesejukan tersendiri. Belum lagi ketika mata kita sedikit ‘dimanjakan’ oleh aneka tanaman di pekarangan kecil di depan kamar tamu di sayap depan biara. Serba hijau dengan hamparan rumput yang tidak seberapa besar menjadi aroma keindahan biara ini.
Kesederhanaan dan hijaunya rerumputan inilah yang selalu ‘menyambut’ kedatangan para tamu yang ingin menginap untuk berbagai keperluan pribadi: rekoleksi, retret, atau keperluan lain semisal minta didoakan oleh para suster rubiah karmelites ini untuk intensi tertentu.