Renungan Harian
Rabu, 31 Maret 2021
Bacaan I: Yes. 50: 4-9a
Injil: Mat. 26: 14-25
SAYA ingat lagu waktu masih sekolah di taman kanak-kanak. Lagu karya P. Kasur judulnya Dua Mata Saya.
Lirik lagu itu demikian:
Dua mata saya, hidung saya satu, dua kaki saya, pakai sepatu baru.
Dua telinga saya, yang kiri dan kanan, satu mulut saya, tidak berhenti makan.
Lagu dengan syair yang sederhana, namun memberi nasihat yang amat mendalam dan luhur.
Saya mau menyoroti soal dua telinga saya dan satu mulut saya. Saya ingat ibu guru waktu Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar selalu mengingatkan bahwa kami mempunyai dua telinga dan satu mulut.
Itu agar lebih banyak mendengarkan dari pada bicara. Tentu saat itu konteksnya adalah agar kami tidak banyak ribut dan ngomong sendiri di kelas.
Di rumah bapak selalu mengingatkan saya, pentingnya untuk mendengarkan. Kalau dinasehati dengarkan dengan baik, jangan menjawab terus, karena dengan menjawab terus nasehat tidak pernah didengarkan dan tidak “nyanthel” (tidak tersimpan).
Telinga diberikan agar saya bisa mendengarkan dengan baik. Di samping itu, bapak juga memberi nasehat kalau kamu tidak bisa berbicara yang baik, lebih baik diam.
Agar apa yang kamu katakan tidak menyakiti orang lain.
Dalam pengalaman perjalanan hidup saya, ternyata nasihat sederhana yang dulu saya terima tidak mudah untuk dijalani.
Saya merasakan kemampuan saya untuk mendengarkan orang lain amat lemah.
Sering terjadi ketika mendengarkan orang lain yang berbicara, otak saya sudah mengatakan: “Oh, saya sudah tahu; oh pasti dia akan bicara seperti ini.”
Sehingga sering kali saya memotong pembicaraan orang lain, tidak sabar mendengarkan sampai orang lain itu selesai berbicara.
Akibat yang buruk adalah saya tidak menangkap maksud yang disampaikan dengan sungguh-sungguh.
Sebagai imam, seharusnya saya menjadi orang yang lebih banyak mendengarkan. Bukan hanya lebih banyak mendengarkan, tetapi menjadi orang yang dengan gembira membuka diri untuk mendengarkan orang lain.
Karena dalam banyak pengalaman, orang yang datang dan berbicara tidak membutuhkan kata-kata saya tetapi hanya butuh untuk didengarkan.
Di samping itu ketidakmampuan saya untuk mendengarkan dengan baik membuat kemampuan untuk bicara juga kurang baik. Padahal kemampuan bicara bagiku adalah yang amat penting.
Bicara baik adalah bicara yang membangun orang lain dan kemampuan itu seringkali bergantung dengan kemampuan mendengarkan.
Betapa penting selalu belajar untuk mendengarkan agar lewat itu banyak orang terbantu dan mampu bertutur dengan baik, tuturan yang membangun orang lain.
Sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan Nabi Yesaya menegaskan betapa penting bertutur dan mendengarkan dengan baik.
“Tuhan Allah telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid.”
Bagaimana dengan aku?
Adakah tuturanku selalu membangun orang lain?