Pernah suatu kali tiba-tiba aku terbangun dan merasa ketakutan melihat kedua orangtuaku berada di samping kiri dan kananku. Kuperhatikan napas mereka, denyut nadi serta gerak-gerik yang ada. Lega rasanya saat mengetahui mereka masih hidup.
Berkali-kali pengalaman itu kualami, tiba-tiba terbangun dan langsung memperhatikan ayah ibu serta memastikan bahwa mereka masih hidup. Aku lupa kapan kejadian itu berlangsung. Yang pasti, itu semua terjadi saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar.
Aku merasa takut, khawatir kalau tiba-tiba ayah ibuku meninggalkanku selama-lamanya sementara aku masih kecil. Aku memang takut kehilangan mereka saat itu. Dan ketika usiaku tiga puluhan tahun saat aku sudah mandiri, sudah berkeluarga, sudah bisa ikut membantu membiayai sekolah adikku, baru ayahku meninggal.
Kehilangan begitu terasa mendalam tertanam dalam hatiku ketika suatu saat di tahun 2005 aku mencoba ikut berinvestasi besama teman-temanku SMA. Aku tergiur untuk mengembangkan uangku yang kurasa terlalu lama ngendon di bank sementara bunganya tidak besar.
Seorang teman menawarkan investasi yang waktu itu bagiku cukup menggiurkan karena melebihi simpanan di bank keuntungannya. Setiap investasi lima juta, aku akan mendapatkan uang 750.000 rupiah tiap bulannya. Waktu itu aku sempat investasikan uang sekitar 10 juta lebih.
Hingga bulan kedua semua berjalan lancar. Bulan ketiga, uang sudah bisa kuterima, tapi akhirnya ada masalah. Ternyata pemilik bisnis ini memecat orang yang berhubungan dengan kami, si pengumpul investor. Tak tahu ada masalah apa. Yang jelas uang yang kami investasikan sebesar nyaris ratusan juta (karena dikumpulkan dari beberapa teman) lenyap.
Selama berbulan-bulan rasa sesal dan kecewa menusukku dalam. Uang yang kukumpulkan sedikit demi sedikit eh lenyap tak berbekas. Bahkan dalam hatiku mulai timbul rasa tidak suka dengan teman-teman yang pernah membujukku.
Butuh waktu agak lama sampai aku bisa memaafkan teman-temanku ini. Butuh waktu agak lama pula untuk bisa menerima dengan ikhlas bahwa uangku pergi dan tak kembali lagi padahal waktu itu aku betul-betul butuh untuk tambahan membeli rumah.
Aku betul-betul merasa kehilangan. Murung, marah, kecewa dan benci bercampur menjadi satu dalam sebuah kesesalan yang mendalam.
Berkali-kali aku mencoba menyugesti diriku agar aku mengikhlaskannya. Aku mencoba menerimanya dengan hati lapang. Agak lama, baru bisa semuanya bisa diselesaikan.
Merasa memiliki
Rasa kehilangan itu membuatku merenung. Aku menjadi terhenyak dengan situasi ini. Penyesalan, dendam dan rasa kehilangan itu muncul kurasa karena aku begitu erat memeluk apa yang kupunyai; uang, orangtua, atau mungkin hal-hal lain yang bisa menjadi milikku. Sebut saja kepandaian, otak yang cemerlang, rumah, mobil, kecerdasan, kebijaksanaan, dan masih banyak lagi.
Mungkin kalau aku merasa tidak memilikinya, aku tak bakal merasakan sesal mendalam karena kehilangan itu. Aku sudah terlanjur terikat, lekat dengan semua itu sehingga aku takut kehilangan, dan saat kehilangan itu datang aku merasakan sedih dan kekecewaan mendalam.
Ya, syair lagu berjudul “memiliki kehilangan” yang dibawakan grup band Letto dengan sangat jelas merumuskan kenapa aku merasa kehilangan. KARENA AKU MERASA MEMILIKINYA. Maka, bila aku tidak lekat dan tidak memeluk semuanya itu tentu saja aku tidak akan kehilangan.
Sayang, banyak orang justru melakukan kebalikannya. Orang dengan bangga mengatakan, “Jangan salah, aku terkenal ini kan karena aku berusaha sejak kecil, karena aku memang hebat and so on…….
Kita, termasuk aku cenderung mendefinisikan dan mengidentifikasikan diri sendiri dengan keterikatan itu entah itu riwayat hidup, pakaian, status sosial, prestasi akademi, jabatan, dan lain-lain.
Saya merasa sukses karena saya memiliki rumah mewah, mobil, dan pekerjaan yang mapan. Saya orang yang cerdas karena prestasi akademis saya selalu tinggi, selalu mendapat nilai summa cum laude, punya pendapat yang luas dan komprehensif.
Saya bahkan merasa bangga bahwa teman-teman saya adalah para artis, orang terkenal, pejabat di pemerintahan dan orang-orang kaya di negeri ini. Saya hebat karena saya keturunan dari orang-orang terkenal, tokoh penting negeri ini. Dan masih banyak lagi deret kebanggaan yang mungkin bisa kita sebut.
Pertanyaan kerapkali mendesak dalam pikiranku. Sebenarnya apakah barang, status atau apa pun juga itu benarkah kita miliki? Apakah kita dikendalikan oleh keinginan untuk memiliki mereka atau kita sendiri yang mengendalikan mereka?
Lepas bebas
Lekat dengan benda, dengan orang, dengan hal-hal dunia ini, kata Sang Budha membuat manusia menderita. Karena itu banyak manusia jaman ini begitu menderita karena terikat oleh keinginan, terikat oleh napsu, bahkan terikat oleh ketakutan-ketakutannya sendiri. Terikat oleh keyakinan-keyakinan yang dianggap paling benar, paling masuk akal dan bahkan paling suci.
Tak heran bila orang suci dari Spanyol, Ignatius Loyola menyarankan agar tujuan kita hidup, memuji dan memuliakan Tuhan menjadi sempurna ini lancar, lepaskanlah semua kelekatan-kelekatan yang ada.
Dengan istilah lepas bebas, Santo Ignatius mengajarkan pada kita bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini hanyalah sarana. Jangan sampai sarana ini menjadi tujuan (tujuan hidup) dan tujuan menjadi sarana.
Segala sesuatu yang melekat erat tidak membuat kita menjadi bebas, tidak membuat kita bahagia. Lepaskanlah, maka bahagialah engkau!
Dalam tahun-tahun berikutnya, dalam doaku aku selalu mengatakan pada Tuhan “Biarlah semua yang Kauberikan ini, ya Tuhan tetap menjadi milikMu. Biarlah aku bermegah hanya di dalam Engkau, karena semua yang ada padaku ini semata hanyalah milikMu dan semuanya akan kembali kepadaMu”
Ada rumah besar, kepandaian, pekerjaan yang menyenangkan, teman yang baik, keluarga yang mendukung dan harmonis, uang yang banyak, jabatan yang tinggi, kebijaksanaan, bahkan sikap jujur yang ada padaku, pada kita, semuanya milik Tuhan. Semuanya anugerah Tuhan.
Aku sendiri merasa tidak layak bila memegahkan diri di atas semuanya itu. Selayaknya sikap yang muncul adalah “rasa syukur yang mendalam”
Aku pernah terkesan dengan respons yang diberikan Nadia Hutagalung, model cantik dan terkenal itu. Ketika dia dipuji bahwa dirinya begitu cantik, dia hanya menjawab,” terima kasih mama dan papaku”
Dari jawabannya itu, dia sadar bahwa apa yang dimilikinya itu bukanlah usahanya. Dengan mengatakan demikian, dia betul-betul mengerti bahwa semuanya adalah anugerah Tuhan dan tidak selayaknya menyombongkan diri di atasnya.
Setelah gudang-gudang terbakar rata dengan tanah, rembulan pun tampak olehku (Masahide)